PSI, Jokowi dan Politik Piggyback

1 week ago 16

Jakarta -

"PSI tidak punya wajah sendiri, sosok Jokowi selalu dilekatkan."

Kalimat itu meluncur begitu saja saat kami ngobrol santai di pantry kantor, ditemani kopi sisa makan siang. Topik obrolan kami siang itu terkait kandidat potensial Ketua Umum PSI. Tentu semua mengarah ke satu nama yang tak pernah absen dalam kampanye mereka, siapa lagi jika bukan "Joko Widodo". PSI hari ini seolah tak bisa lepas dari bayang-bayang Jokowi.

Sambil mendengarkan obrolan itu, mata saya sesekali tertuju ke layar laptop yang sedang memuat ulasan buku 'Future Forward: The Rise and Fall of a Thai Political Party'. Ada satu kutipan dari penulis buku tersebut, McCargo dan Anyarat yang langsung mencuri perhatian. Begini bunyinya:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Studies suggest that winning candidates employ door-to-door, feet-on-the-ground campaign tactics."

Kalimat itu sangat akrab bagi saya sebagai praktisi politik. Memang seharusnya, politik elektoral dibangun dari bawah, dari struktur akar rumput, bukan semata lewat media sosial. Partai progresif semestinya hadir dari pintu ke pintu, dari dapur ke dapur-bukan sekadar menjual wajah tokoh besar.

Sayangnya, PSI justru terjebak dalam politik yang saya sebut politik piggyback-menunggang popularitas Jokowi tanpa membangun fondasi sendiri. Sejak kampanye 2024, mereka terus menempelkan narasi "Jokowisme", bahkan hari ini menyebut Jokowi sebagai calon ketua umum potensial. Sangat tampak sekali bahwa, PSI seperti tak percaya diri membangun identitasnya sendiri.

Padahal, PSI pernah datang sebagai angin segar sebagai partai alternatif anak muda. Kini, narasi itu seperti ditinggalkan bahkan sebelum sempat bertumbuh besar. Mereka bergeser dari semangat alternatif menjadi partai yang sekadar hadir lewat pencitraan. Dari Jokowi ke Kaesang, dari Kaesang ke ke Jokowi, nanti bisa jadi berlabuh juga ke Gibran. PSI kehilangan konsistensi dalam membangun DNA politiknya sendiri.

Realitas elektoral pun menunjukkan keterbatasan strategi ini. Pada pemilu 2024, suara PSI hanya terkonsentrasi di wilayah urban seperti Jakarta dan Surabaya, tempat pemilih digital-savvy berada. Tapi di wilayah dengan kultur muslim tradisional, suara mereka sangat kecil. Di Jatim III hanya 21.589 suara. Di Sumut II, yang pernah jadi basis Jokowi, PSI hanya meraih 23.294 suara (1,1%).

Jelas, kedekatan dengan Jokowi tidak serta-merta menghasilkan kekuatan elektoral. Dua hal bisa disimpulkan, PSI gagal membangun jaringan akar rumput, dan elektabilitas Jokowi tidak bisa diwariskan begitu saja.

PSI seharusnya belajar dari Future Forward di Thailand-yang kini menjelma menjadi Movement Forward. Partai itu tumbuh dari gerakan sosial, menghadirkan semangat anak muda, bukan lahir hanya untuk mendukung kekuasaan.

Kalau PSI ingin jadi partai modern, mereka butuh akar. Bukan hanya di kota, tapi juga di desa. Bukan cuma di kelas menengah atas, tapi juga di kalangan petani, buruh, dan umat muslim tradisional. Karena dalam politik Indonesia, tradisi lokal tetap sangat menentukan.

Kerja politik tidak bisa didelegasikan ke buzzer atau agensi iklan. Ia butuh pengorganisasian, pemetaan basis, door-to-door campaign, dan manajemen kader yang rapi. PSI harus kembali ke khittah-nya sebagai partai anak muda. Sejauh ini, mereka gagal membangun harapan itu.

Terakhir, tanpa kekuatan struktural, narasi besar seperti "Partai Super Terbuka" atau "Jokowisme" hanya hidup di ruang media. Isinya kosong. PSI bisa mulai dari reformasi internal, memperkuat organisasi. Tapi kalau tak segera membangun akar, mereka akan terus tenggelam dalam pencitraan. Sebab dalam politik, yang bertahan bukan yang paling viral, tapi yang paling mengakar.

Nurul Fatta. Konsultan Politik di Politika Research & Consulting (PRC).

(rdp/rdp)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial