Jakarta -
Di tengah dunia yang sedang bergeser dari stabilitas unipolar menuju dinamika multipolar, pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dengan China Premier Li Qiang minggu ini dan dilaksanakannya penandatanganan MoU antara Bank Indonesia dan People's Bank of China (PBoC) bukan sekadar agenda diplomatik. Ini adalah momen geostrategis yang menyiratkan posisi baru Indonesia di arsitektur keuangan dunia. Saat dunia terbagi oleh blok, Indonesia justru membuka pintu. Dan bukan sembarang pintu, ini adalah pintu uang, tempat di mana kekuatan tak lagi ditentukan oleh sekedar militer, produksi manufaktur, dan narasi pemerintah, melainkan lewat hal yang lebih halus dan subtil, yakni aliran modal, likuiditas, dan kepercayaan lintas batas.
Saat ini PBoC sedang bergeser, dari hanya pengatur inflasi domestik, ia menapaki langkah lebih ke depan yakni menjadi arsitek arus modal global. People's Bank of China (PBoC) bukan bank sentral biasa. Ia adalah: Pengelola lebih dari USD 3 triliun cadangan devisa. Pengarah jalur internasionalisasi yuan (RMB). Penentu arah pembiayaan global dalam konteks Belt and Road Initiative, serta Pendorong sistem keuangan alternatif melalui CIPS, sistem pembayaran lintas negara sebagai alternatif SWIFT.
Dengan adanya MoU ini, pemerintahan Presiden Prabowo tidak hanya bicara investasi, tapi mengisyaratkan partisipasi aktif Indonesia dalam desain ulang sistem keuangan global pasca trade war, sebuah wilayah yang selama ini hanya dihuni oleh elite Washington dan Beijing. Terkait ini, Indonesia memang berada di dalam sebuah persimpangan sejarah. Di dalam perjanjian ini, tidak hanya dibahas bilateral currency transaction untuk neraca berjalan (current account), tapi juga dibahas kerjasama terkait capital account dan financial account (neraca modal) yang akan membuka manfaat yang lebih luas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertemuan ini juga harus dibaca dalam konteks global yang lebih luas. Dunia tengah berada dalam fase rebalancing ekonomi besar-besaran: Amerika Serikat mulai menyeimbangkan ulang ekonominya dengan mendorong produksi dalam negeri (reshoring), mengurangi defisit neraca berjalan, dan mengurangi ketergantungan pada aliran dana global yang tidak stabil.
Sementara itu, China mendorong internasionalisasi yuan yang akan menciptakan kanal tambahan bagi pendanaan lintas negara yang lebih stabil dan tidak terlalu rentan terhadap embargo dan sanksi politik.
Di sinilah Indonesia bisa memainkan peran jembatan strategis. Dengan membuka kanal pendanaan dalam CNH (offshore yuan), yang membantu menciptakan diversifikasi yang sehat dalam arsitektur moneter internasional. Kesuksesan dari internasionalisasi CNH ini akan Memberikan ruang bagi dolar untuk kembali fokus ke domestik (rebalancing AS) tanpa menciptakan kekosongan likuiditas di pasar negara berkembang, dan juga mengurangi ketergantungan kita sendiri terhadap pembiayaan jangka pendek berbasis dolar yang rentan capital flight.
Apa artinya bagi Indonesia? Banyak. Pertama, kanal pembiayaan RMB akan memberikan alternatif sumber dana jangka panjang bagi pembangunan infrastruktur dan proyek-proyek strategis. Jangan lupa bahwa saat ini China sedang berenang dalam likuiditas dengan tingkat imbal hasil obligasi dengan tenor 10 tahun mereka menjadi 1.6%. Kedua, hal ini akan mengurangi tekanan permintaan valas terhadap USD, menciptakan ruang stabilisasi bagi rupiah secara struktural, bahkan ruang penguatan Rupiah jika kita memanfaatkan ruang ini secara maksimal. Ketiga, BI dan pemerintah dapat menurunkan ketergantungan pada instrumen pasar uang jangka pendek, seperti SRBI, dan mulai membangun sistem pendalaman keuangan jangka panjang berbasis multicurrency. Dengan adanya kestabilan baru lewat internasionalisasi RMB, peluang pertumbuhan ekonomi menuju target 8% pun akan terbuka lebar.
Ini bukan hanya langkah teknokratis. Ini adalah cara baru memikirkan kedaulatan keuangan, kita membantu rebalancing ekonomi dua negara besar, yang mana kemudian memberi ruang lebih besar untuk kemaslahatan rakyat Indonesia.
Hal ini juga menandai perubahan diplomasi kita bersama Tiongkok, dari Diplomasi Beton ke Diplomasi Modal. Kerja sama Indonesia, Tiongkok selama ini lekat dengan pembangunan fisik: jalan tol, pelabuhan, kereta cepat. Tapi dengan pertemuan ini, arah kerja sama naik kelas, menuju Diplomasi Modal.
Ini adalah langkah yang sangat penting bagi pemerintahan Presiden Prabowo yang ingin: Mengamankan pembiayaan jangka panjang, Memperkuat ketahanan eksternal, Mengurangi volatilitas eksternal terhadap rupiah, dan pada akhirnya: membangun ulang ekonomi yang tidak rentan terhadap gejolak sentimen pasar global.
Pertemuan ini menandai arah strategis baru: Indonesia ingin menjadi jalur tengah dalam arsitektur keuangan global yang semakin bipolar. Kita bukan musuh dolar, tapi juga bukan budak dolar. Kita membuka diri pada RMB, bukan untuk tunduk pada Beijing, tapi untuk membentuk sistem keuangan yang lebih adil, terbuka, dan multipolar. Kita berdiri di antara Washington dan Beijing bukan untuk memilih sisi, tapi untuk menjadi poros.
Ini adalah pembukaan jalur, yakni jalur moneter, jalur modal, jalur masa depan. Jika dikelola dengan tepat, pertemuan ini bisa menjadi langkah awal menuju sistem keuangan nasional yang: Lebih stabil, Lebih berdaulat, dan lebih terhubung dengan dunia, tanpa kehilangan arah. Karena di tengah ketidakpastian global, kekuatan bukan milik yang paling cepat atau paling besar, tetapi milik mereka yang mampu menjadi jembatan, ketika dunia terbelah.
Oleh: Fakhrul Fulvian-Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia
(wnv/wnv)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini