Jakarta -
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki wilayah laut yang luas dengan potensi sumber daya yang melimpah. Namun, besarnya potensi ini juga diiringi oleh tantangan besar dalam pengelolaannya.
Bagaimana kita memastikan ruang laut dikelola secara berkelanjutan, adil, dan memberikan manfaat bagi semua pihak tanpa merusak ekosistem yang menjadi penyangga kehidupan?
Mengacu pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia, pemerintah telah menetapkan tujuh pilar Poros Maritim Dunia yang terbagi dalam 76 strategi kebijakan utama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu pilar kunci dalam kebijakan ini adalah pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut, yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya laut dan kelestariannya.
Dalam konteks ini, tata kelola ruang laut tidak hanya berbicara soal regulasi, tetapi juga menyangkut keberlanjutan ekosistem, kepastian hukum, serta kesejahteraan masyarakat pesisir.
Salah satu tantangan terbesar dalam penataan ruang laut adalah memastikan pemanfaatannya tetap adil, transparan, dan tidak menimbulkan konflik sosial maupun degradasi lingkungan.
Masalah
Ruang laut Indonesia memiliki beragam pemanfaatan, mulai dari perikanan, energi, sumber daya mineral, hingga pengembangan pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun, pemanfaatan ini menghadapi tiga tantangan utama:
1. Degradasi biofisik lingkungan pesisir, akibat eksploitasi berlebihan dan alih fungsi lahan pesisir.
2. Konflik pemanfaatan dan kewenangan, karena banyaknya kepentingan yang bersinggungan di wilayah laut.
3. Ketidakpastian hukum, terutama terkait hak kepemilikan dan penguasaan sumber daya pesisir.
Salah satu permasalahan yang banyak disoroti sekarang adalah pemberian Hak Atas Tanah (HAT) di wilayah pesisir dan perairan laut, yang memungkinkan pemegang hak memiliki kuasa penuh dalam pemanfaatannya. Jika tidak diatur dengan bijak, hal ini bisa memicu eksploitasi berlebihan yang merusak ekosistem dan mempersempit akses masyarakat pesisir terhadap sumber daya laut.
Beberapa pakar hukum lingkungan dan tata ruang juga menyoroti bahwa pemberian HAT di ruang laut bertentangan dengan prinsip hukum nasional maupun internasional. Laut dan pesisir bukanlah ruang yang bisa dimiliki secara eksklusif seperti lahan di darat. Dalam hukum internasional, terdapat prinsip functional jurisdiction, yang membedakan pemanfaatan ruang laut dari ruang darat.
Laut dan sumber dayanya adalah common property resource, yang berarti tidak boleh dikuasai atau dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu secara eksklusif, karena berkaitan dengan keberlanjutan ekosistem dan sumber penghidupan masyarakat pesisir.
Selain itu, laut juga berlaku rezim Open Access, yang berarti siapa saja boleh memanfaatkan wilayah ini untuk berbagai kepentingan, namun pemanfaatan tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan memperhatikan keberlanjutan
Putusan MK
Sejalan dengan prinsip tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 telah membatalkan pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) yang sebelumnya diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dalam amar putusannya, MK menegaskan bahwa pemberian HP3 mengarah pada kepemilikan privat yang bertentangan dengan prinsip common property. Jika ruang laut dapat dimiliki secara eksklusif oleh individu atau korporasi maka akan muncul pengalihan kepemilikan yang mengurangi kontrol negara, mempersulit pengawasan, serta berpotensi memicu konflik sosial dan ekonomi.
MK menegaskan pengelolaan ruang laut harus dilakukan melalui mekanisme perizinan, di mana negara tetap memiliki kewenangan penuh dalam: Membuat kebijakan (beleid), Melakukan pengaturan (regelendaad), Mengurus (berstuursdaad), Mengelola (beheersdaad), dan Mengawasi (toezichthoudensdaad).
Pendekatan ini bertujuan untuk mencegah konflik kepentingan, menghindari diskriminasi akses bagi masyarakat pesisir, serta memastikan bahwa pemanfaatan laut tetap berlandaskan pada kepentingan nasional.
Terbaru, Nahdlatul Ulama (NU) juga telah mengeluarkan fatwa yang melarang pemberian HAT di laut. NU menegaskan bahwa laut adalah milik bersama dan tidak boleh diperjualbelikan atau dimiliki secara privat.
Sikap ini semakin memperkuat urgensi untuk memastikan bahwa kebijakan pengelolaan ruang laut tetap berlandaskan pada prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan ekosistem.
Bijak dan Kolaboratif
Memahami pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki tantangan kompleks, karena itu, perencanaan dan pelaksanaannya harus dilakukan secara terpadu, holistik, dan berkelanjutan.
Dalam praktiknya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) selalu mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja.
Salah satu regulasi kunci dalam tata kelola ini adalah Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL), yang menjadi pedoman utama bagi semua pihak yang ingin memanfaatkan ruang laut secara legal dan berkelanjutan.
KKPRL adalah instrumen perizinan yang memastikan bahwa setiap pemanfaatan ruang laut sesuai dengan perencanaan (Rencana Tata Ruang/Rencana zonasi) dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan maupun masyarakat pesisir. KKPRL terdiri atas Persetujuan KKPRL, Konfirmasi KPRL dan Fasilitasi Persetujuan KKPRL untuk masyarakat Tradisional/ dan masyarakat lokal.
Dalam menerbitkan KKPRL, pemerintah mempertimbangkan beberapa aspek penting, antara lain:
1. Kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang/Rencana Zonasi (Laut)
Setiap kegiatan harus sesuai dengan zonasi yang telah ditetapkan dalam dokumen perencanaan ruang laut.
2. Dampak terhadap Ekosistem Laut
Kajian lingkungan harus dilakukan untuk memastikan bahwa aktivitas yang diizinkan tidak merusak terumbu karang, mangrove, padang lamun, atau ekosistem laut lainnya.
3. Dampak Sosial dan Ekonomi bagi Masyarakat Pesisir
Pemanfaatan ruang laut tidak boleh merugikan masyarakat pesisir yang bergantung pada sumber daya laut untuk mata pencaharian mereka.
4. Keamanan dan Keselamatan Navigasi Laut
Setiap proyek harus memperhitungkan jalur pelayaran, keamanan maritim, dan tidak mengganggu aktivitas transportasi laut.
5. Kepatuhan terhadap Regulasi Nasional dan Internasional
Aktivitas yang diberikan izin harus sesuai dengan hukum nasional maupun komitmen Indonesia dalam perjanjian internasional terkait kelautan dan lingkungan.
6. Penyediaan Dana Jaminan Pemulihan Lingkungan
Setiap pemegang izin wajib menyiapkan skema pemulihan lingkungan untuk mengantisipasi kerusakan yang terjadi akibat kegiatannya.
Mekanisme KKPRL menjadikan negara tetap memiliki kendali penuh atas ruang laut, mencegah eksploitasi berlebihan, menghindari konflik kepentingan, serta memastikan keberlanjutan ekosistem laut bagi generasi mendatang.
Namun, tata kelola ruang laut tidak bisa dilakukan secara sepihak. Diperlukan sinergi antara pemerintah, akademisi, masyarakat pesisir, dan pelaku usaha untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tetap berpihak pada kesejahteraan masyarakat dan kelestarian ekosistem.
Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga lautnya. Sudah saatnya kita semua harus bijak dalam memahami aturan hukum dan berkolaborasi dalam menjaga ekosistem laut, bukan hanya untuk kepentingan saat ini, tetapi juga demi masa depan anak bangsa lintas generasi.
Doni Ismanto Darwin, Stafsus Menteri Kelautan dan Perikanan
(akd/ega)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu