Jakarta -
Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila. Tapi peringatan ini seharusnya tak sekadar seremoni. Namun, merupakan momen refleksi tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana arah bangsa ini akan dibawa.
Indonesia bukan lahir dari satu suku, satu agama, atau satu ras. Kita lahir dari luka yang sama, yakni penjajahan panjang yang menimpa rakyat dari Sabang sampai Merauke.
Pengalaman pahit itu menjadi pengikat batin, melahirkan kesadaran bersama bahwa kita hanya bisa merdeka kalau bersatu. Inilah yang oleh Benedict Anderson (1983) dalam Imagined Communities disebut sebagai imagined community, yakni bangsa yang terbentuk bukan karena kesamaan biologis atau geografis, tapi karena narasi dan pengalaman kolektif yang diyakini bersama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penderitaan yang dialami bangsa Indonesia akibat kolonialisme itulah yang menjelma menjadi benih persatuan. Menjelma kesadaran kolektif untuk sama-sama bersatu dalam kebhinekaan menjadi sebuah bangsa, yakni bangsa Indonesia.
Presiden Soekarno, dalam pidato 1 Juni 1945, menawarkan konsepsi dasar negara yang bukan berangkat dari etnik, agama, atau kedaerahan, tetapi dari kesadaran historis untuk hidup sebagai bangsa merdeka dalam keberagaman. "Bangsa Indonesia adalah satu, karena kita telah sama-sama menderita dan sama-sama berjuang", katanya.
Nasionalisme Indonesia bukan nasionalisme etnis, tapi nasionalisme integratif, yakni nasionalisme yang menyatukan, bukan menyeragamkan.
Tantangan Bangsa Kepulauan
Namun Indonesia bukan bangsa biasa. Kita merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan lebih dari 17 ribu pulau yang tersebar di antara dua samudra dan dua benua. Letak strategis ini menjadikan kita kaya akan potensi, tapi juga penuh tantangan.
Secara geopolitik, Indonesia berada di titik silang dunia, menjadi jalur perdagangan, persilangan budaya, sekaligus medan kompetisi pengaruh global. Fragmentasi wilayah bisa menjadi celah disintegrasi jika tidak ditambal dengan kuatnya identitas nasional.
Wakil Presiden pertama, Mohammad Hatta (1960), pernah menegaskan bahwa "persatuan Indonesia bukanlah persatuan dalam keseragaman, melainkan persatuan dalam keberagaman".
Di sinilah pentingnya membangun kesadaran nasional berbasis kebudayaan dan nilai bersama. Tanpa itu, posisi geografis yang tersebar bisa menjadi titik rawan perpecahan.
Budaya Bukan Sekadar Warisan
Budaya kita bukan hanya soal tarian atau kain tradisional. Namun, jauh miliki makna yang mendalam, yakni cara hidup, cara berpikir, dan nilai-nilai yang tumbuh dari bumi Nusantara.
Budaya merekatkan kita secara halus tapi berakar kuat. Gotong royong, musyawarah, hingga toleransi adalah nilai budaya yang sudah hidup jauh sebelum negara ini berdiri.
Anthony D. Smith (1991) dalam National Identity menjelaskan bahwa simbol budaya seperti bahasa, adat istiadat, dan narasi sejarah merupakan fondasi utama terbentuknya identitas nasional. Maka melestarikan budaya bukan sekadar upaya pelestarian, melainkan langkah strategis untuk menjaga keberlanjutan bangsa dalam kehidupan jangka panjang.
Ketika budaya dibiarkan tergilas budaya luar apalagi punah, maka identitas nasional ikut luntur. Juga ketika identitas melemah, pertahanan bangsa bisa rapuh, bukan hanya secara kekuatan fisik, tetapi juga secara sosial dan psikologis masyarakat-bangsa.
Saatnya Pancasila Dihidupkan
Pancasila tidak cukup hanya dihafal atau dibacakan saat upacara maupun momen seremoni. Ia harus dihidupkan, dalam pelayanan publik yang adil, dalam kebijakan yang berpihak, dan dalam ruang sosial yang inklusif.
Di tengah dunia yang semakin individualistis, semangat "kita" perlu dihidupkan lagi, bukan sekadar "aku" atau "golongan kami".
Semangat ini selaras dengan cita-cita Soekarno yang menginginkan Pancasila sebagai "philosophische grondslag"—dasar filsafat yang bukan hanya menjadi dokumen politik, tetapi jiwa yang menghidupi setiap tindakan berbangsa.
Generasi muda bangsa ini harus disadarkan bahwa nasionalisme bukan hanya soal simbol, tapi keberanian menjaga perbedaan tanpa harus membelah. Bahwa cinta tanah air juga berarti menjaga budayanya, merawat keberagamannya, dan membela keutuhan wilayahnya, dari ruang kelas hingga batas laut terluar.
Kembali pada Semangat Persatuan
Refleksi 1 Juni bukan sekadar mengenang pidato Bung Karno. Melainkan momentum memperkuat ajakan untuk kembali ke ruh kebangsaan. Kita pernah terluka bersama. Sekarang saatnya bangkit bersama, dengan budaya sebagai cermin, dan Pancasila sebagai kompasnya.
Di tengah dunia yang terus berubah, identitas nasional merupakan fondasi yang tak boleh retak. Karena hanya bangsa yang tahu siapa dirinya, yang mampu berdiri teguh menghadapi dunia.
Selamat Hari Lahir Pancasila. Mari jaga rumah besar Indonesia, bukan dengan seragam, tapi dengan semangat kebersamaan yang terus menyala di negeri seribu pulau.
Rasminto, Dosen Geografi Manusia Unisma dan Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI).
(dhn/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini