Jakarta -
Kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Tiongkok, Li Qiang, ke Jakarta pada Minggu, 25 Mei 2025, bukan sekadar seremoni diplomatik rutin. Momen ini menjadi tonggak penting dalam memperingati 75 tahun hubungan diplomatik antara Indonesia dan Tiongkok, sebuah relasi yang telah melewati berbagai dinamika sejarah, mulai dari pasang surut politik hingga kerja sama ekonomi yang kian erat.
Momentum ini menjadi refleksi mendalam atas bagaimana kedua negara membangun kepercayaan strategis di tengah perubahan tatanan global.
Pergeseran geopolitik kawasan Indo-Pasifik yang semakin kompleks menuntut kepemimpinan regional yang adaptif sekaligus visioner. Ketegangan antara kekuatan besar, kontestasi pengaruh di Laut Cina Selatan, serta pertarungan ekonomi dan teknologi global menjadikan kawasan ini episentrum baru rivalitas internasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada konteks ini, Indonesia memegang peran krusial sebagai negara maritim terbesar dan kekuatan menengah yang memiliki kredibilitas dialog dan kemampuan menjembatani kepentingan negara-negara besar.
Disambut langsung oleh Presiden Prabowo Subianto dalam upacara kenegaraan di Istana Merdeka, kunjungan PM Li Qiang menjadi simbol penguatan posisi Indonesia di tengah lanskap global yang sedang bergeser.
Pertemuan ini bukan hanya perayaan sejarah diplomatik, tetapi juga panggung strategis yang mencerminkan bagaimana Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo membaca ulang peta kekuatan global.
Indonesia dan Peta Baru Indo-Pasifik
Dalam geopolitik klasik, Nicholas Spykman (1944) menyebut wilayah "Rimland", dimana konsepsi geografis kawasan pesisir Eurasia yang mencakup Asia Tenggara, sebagai kunci pengendali dunia. Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar yang menguasai Selat Malaka, Sunda, dan Lombok, kini kembali berada di pusat perhatian dunia. Ia bukan hanya jalur laut strategis, tapi juga wilayah dengan kekayaan sumber daya yang dibutuhkan semua kekuatan besar.
Teori ini berargumen bahwa kontrol atas rimland akan memberikan keunggulan strategis yang lebih besar dibandingkan dengan kontrol atas wilayah jantung (heartland), seperti yang dikemukakan oleh Halford Mackinder.
Pemerintahan Prabowo melihat posisi ini sebagai leverage strategis, bukan sekadar aset pasif. Indonesia tidak lagi hanya bersikap "bebas aktif" secara normatif, tetapi juga "bebas aktif" dengan ketegasan geopolitik. Posisi geografis harus diubah menjadi kekuatan negosiasi, bukan kerentanan.
Hedging: Strategi Negara Menengah yang Realistis
Kehadiran PM Li Qiang menunjukkan betapa pentingnya Indonesia bagi Tiongkok, terutama di tengah rivalitas yang terus meningkat dengan Amerika Serikat. Namun Indonesia, seperti dikemukakan dalam teori hedging oleh Evelyn Goh (2006), memaknai dengan menjalankan strategi seimbang, melalui upaya mempererat kerja sama ekonomi dengan Tiongkok, tanpa meninggalkan kemitraan strategis pertahanan dengan negara-negara adidaya lainnya seperti AS, Jepang, India, dan Australia.
Presiden Prabowo memainkan strategi ini dengan cermat. Di satu sisi, Indonesia terbuka pada kerja sama investasi, perdagangan, dan infrastruktur dengan Beijing. Di sisi lain, diplomasi pertahanan dengan negara-negara demokratis terus diperkuat, khususnya dalam menjaga stabilitas Laut Natuna Utara dan kawasan Indo-Pasifik.
SDA sebagai Kekuatan Geoekonomi Global
Kekayaan sumber daya alam Indonesia, seperti nikel, bauksit, dan tembaga, menjadi magnet utama bagi Tiongkok. Ini relevan dengan konsep geoekonomi yang dikemukakan oleh Edward Luttwak (1990), bahwa kekuatan ekonomi kini menjadi instrumen utama dalam perebutan pengaruh global.
Pada konteks ini, Indonesia bukan hanya ladang investasi, tapi juga pemilik kunci rantai pasok global. Namun, era Presiden Prabowo dengan menekankan hilirisasi dan kemandirian industri. Tujuannya bukan hanya untuk mendongkrak nilai tambah dalam negeri, tetapi juga untuk menghentikan ketergantungan struktural terhadap mitra asing.
Transfer teknologi dan keterlibatan BUMN maupun swasta nasional dalam proyek-proyek strategis menjadi garis merah, sebagai tanda utama yang memperjelas positioning Bangsa Indonesia.
75 Tahun Persahabatan RI-Tiongkok
Peringatan 75 tahun hubungan Indonesia–Tiongkok merupakan simbol kontinuitas. Namun dunia yang penuh dinamika yang sudah berubah. Ketegangan di Laut Cina Selatan, perlombaan teknologi, serta konflik global seperti perang di Ukraina dan Timur Tengah menuntut kebijakan luar negeri yang lebih adaptif, gesit, dan berorientasi pada kepentingan nasional.
Presiden Prabowo memahami bahwa simbol tidak cukup. Indonesia harus bisa memposisikan diri sebagai pemain utama, bukan hanya objek tarik-menarik kekuatan besar. Di sinilah pentingnya leadership with leverage, yakni memimpin kawasan dengan kekuatan, bukan ketergantungan.
Kunjungan PM Li Qiang ke Jakarta merupakan bentuk pengakuan bahwa Indonesia adalah aktor strategis dalam Indo-Pasifik. Tapi lebih penting dari itu, ini adalah ujian - apakah Indonesia bisa memainkan peran yang lebih aktif, lebih cerdas, dan lebih tegas dalam menjaga kepentingan nasionalnya.
Rasminto, Dosen Geografi Politik Unisma dan Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI).
Tonton juga "Komitmen Prabowo Perkuat Kemitraan RI-China di Depan PM Li Qiang" di sini:
(imk/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini