Kebijakan dan Relevansi Pemikiran Sumitro Djojohadikusumo

5 days ago 28

Jakarta -

Pemikiran Sumitro Djojohadikusumo bercorak Sosialisme pragmatis, setidaknya yang dikupas oleh Dawam Rahardjo dan beberapa ekonom lainnya, tetapi tetap kental dengan sifat nasionalisme. Dalam konteks ini Sumitro menekankan bahwa untuk mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial, "cara paling efektif dan cepat mengubah struktur ekonomi republik baru merdeka adalah perencanaan ekonomi nasional yang didasari pada gagasan sosialisme".

Pemerintah harus aktif mengelola ekonomi melalui kebijakan makro, peran sektor negara, kebijakan publik, dan lembaga keuangan pemerintah. Pola pemikiran seperti ini menurun kepada Presiden Prabowo dan terlihat jelas pada kebijakan-kebijakannya di lapangan. Corak sosialisme-nasionalis dari Sumitro terlihat dan pemikirannya tentang pembangunan yang harus berbasis nilai-nilai nasional (Pancasila) sekaligus prinsip-prinsip sosialisme dalam ekonomi.

Sumitro bukan sosok ekonomi yang hanya duduk di belakang meja, tetapi merupakan sosok aktivis pergerakan yang memikirkan nasib bangsa melalui pergerakan dan organisasi politik. Karena itu, pemikiran bersifat gagasan ekonomi politik, dengan ciri sangat dekat dan pro ekonomi rakyat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Asal muasal karir akademiknya bermula dari disertasi doktor tentang perkreditan usaha kecil pada masa penjajahan. Di dalam disertasi tersebut, sistem perkreditan rakyat (micro-finance) dinilai sebagai instrumen anti-kemiskinan, pengembangan ilmu ekonomi pembangunan untuk memerangi kemiskinan dan ketertinggalan, pembangunan industri kecil dan kerajinan rakyat.

Sebagai tokoh ekonomi-politik Indonesia, melempar gagasan dan juga dikenal sebagai "pelopor industrialisasi" karena begitu penting untuk kemajuan pembangunan Indonesia. Kebijakan perdagangan luar negeri perlu direncanakan untuk modal industrialisasi, serta berperan menjadi sistem ekonomi berencana dengan badan perencanaan nasional .

Sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian (Kabinet Natsir 1951-52), Sumitro meluncurkan Rencana Urgensi Industrialisasi untuk keluar dari "lingkaran setan masalah kemiskinan" yang dihadapi Indonesia . Kebijakan ini dikenal sebagai "Kebijaksanaan Benteng" yang memberikan monopoli impor bahan baku kepada koperasi rakyat (misalnya Gabungan Koperasi Batik Indonesia) untuk membangun modal dalam negeri bagi industri .

Pendekatan ini berbeda dengan model pembangunan Kapitalisme yang eksploitatif. Sumitro memprioritaskan pembentukan modal domestik melalui industri nasional, bukan sekadar investasi asing. Pembangunan industri menjaga keseimbangannya dengan pembangunan pertanian dari desa (resource-based industry).

Selain membangun industri, ia memperhatikan keterkaitan sektor pertanian agar rakyat banyak yang hidup di pedesaan tidak terabaikan. Pemikiran ini muncul dalam perdebatannya dengan tokoh intelektual muslim, Sjafruddin Prawiranegara, yang menekankan pembangunan "dari desa dan pertanian dulu".

Ideologi Sumitro sulit dipisahkan dari corak nasionalisme. Ia menulis buku Sistem Ekonomi Pancasila, yang memandang ekonomi Pancasila sesuai pembukaan UUD 1945 merupakan realisasi nilai-nilai Pancasila yang normatif.

Di era awal kemerdekaan, paham nasionalisme konstitusional (berbasis UUD 1945) dan sosialisme demokratik berpengaruh besar. Menurut Dawam Rahardjo Sumitro menganut paham Sosialisme-nasionalis atau Sosialisme-negara. Artinya, Sumitro berkeyakinan perubahan struktural ekonomi harus diarahkan untuk kepentingan rakyat banyak, dengan campur tangan negara yang kuat.

Inilah yang dipraktikkan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam kebijakan-kebijakan ekonominya pada saat ini. Ini sejalan dengan pemikirannya di dalam bukunya Paradoks Indonesia, yakni perlunya negara menjalankan kebijakan ekonomi berdasarkan konstitusi (Ekonomi Konstitusi).

Dalam implementasinya pada kebijakan ekonomi pada saat ini, corak sosialisme negara terasa sangat kuat dan dominan, seperti pemikiran Sumitro, yang telah dijelaskan di atas. Tetapi Presiden Prabowo tetap mengakui pentingnya pasar, bagian yang terbaik dari Kapitalisme, seperti dalam kutipan pada buku Paradoks Indonesia:

"Kalau saya berpendapat, 'Lho, kenapa kita harus memilih?' Kita mau ambil yang terbaik dari kapitalisme dan yang terbaik dari sosialisme. Gabungan terbaik dari keduanya inilah disebut oleh Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, oleh bapak saya Prof. Sumitro, sebagai ekonomi kerakyatan, atau ekonomi Pancasila, yang bentuknya tertulis di Undang-Undang '45, khususnya di Pasal 33. Boleh juga kita sebut 'ekonomi konstitusi'", (h. 114).

Jadi, kebijakan ekonomi yang sedang berjalan sekarang tidak lain adalah cerminan dari pemikiran ekonomi Sumitro Djojohadikusumo dan sekaligus Prabowo Subiantio, sebagai Presiden RI.

Didik J Rachbini, ekonomi senior Indef dan Rektor Universitas Paramadina

(idn/idn)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial