Jakarta -
Kementerian Kesehatan mewaspadai peningkatan kasus COVID-19 di sejumlah negara Asia, meski di Indonesia angkanya dilaporkan menurun. Di sisi lain, para ahli epidemiologi sangsi bahwa kasus COVID di Indonesia menurun mengingat pengawasan COVID sudah tidak seketat masa pandemi.
Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Penanggulangan Penyakit Kemenkes, Murti Utami, menyebut eskalasi kasus COVID-19 terjadi di Thailand, Malaysia, Singapura, dan Hongkong.
"Meski demikian transmisi penularannya masih relatif rendah, dan angka kematiannya juga rendah," ujar Murti seperti dilansir kantor berita Antara pada Sabtu (31/05).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Indonesia, Kemenkes menyebut kasus konfirmasi positif COVID-19 cenderung menurun setiap minggunya. Bahkan, data terakhir per awal Mei menunjukkan rasio positif 0,59%.
Meskipun begitu, Kemenkes tetap mengeluarkan surat edaran yang antara lain ditujukan ke berbagai dinas kesehatan tingkat daerah dan rumah sakit terkait peningkatan kasus di beberapa negara Asia.
Selain memantau perkembangan situasi COVID-19 melalui kanal resmi pemerintah dan WHO, Kemenkes mengimbau peningkatan kewaspadaan dini dengan memantau dan memverifikasi tren kasus COVID-19 dan penyakit pernapasan lainnya secara rutin.
BBC News Indonesia berupaya mengulas situasi COVID-19 saat ini melalui laporan pandangan mata serta mewawancarai sejumlah epidemiolog dan pakar kesehatan publik.
Apakah kasus COVID-19 di Indonesia memang menurun?
Menurut data Kemenkes, kasus COVID-19 di Indonesia menunjukkan kecenderungan penurunan pada minggu ke-20 tahun ini.
Dalam keterangannya, Murti menyebut tercatat ada tiga kasus konfirmasi COVID-19 pada minggu ke-20atau turun dari 28 kasus yang tercatat pada minggu ke-19.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Aji Muhawarman, menyebut jumlah kasus COVID-19 di Indonesia "sangat sedikit".
"Kita pelaporannya mingguan. Datanya fluktuatif, tapi cenderung kecil sangat-sangat kecil sampai sejak ini, walaupun di negara-negara lain sedang ada kenaikan kasus," ujar Aji ketika dihubungi BBC News Indonesia pada Senin (02/06).
BBC News Indonesia mendatangi beberapa rumah sakit secara acak untuk melihat situasi di lapangan.
Di Medan, Sumatra Utara, ruang Poli COVID di RSUP H. Adam Malik terlihat kosong tanpa aktivitas. Menurut pihak RS, mereka terakhir kali merawat pasien COVID-19 pada 30 Juli 2023.
Padahal sejak 2020, RSUP H. Adam Malik telah menangani sebanyak 7.479 pasien COVID-19 termasuk 3.207 yang dirawat inap.
Situasi serupa ditemui di RS Tebet di Jakarta Selatan.
"Kasusnya sudah jarang," ujar dr. Feti yang sedang berjaga di Instalasi Gawat Darurat (IGD) ketika ditanya soal kasus COVID-19.
Data dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta menunjukkan terdapat 38 kasus COVID-19 antara 1 Januari dan 31 Mei 2025 dengan jumlah terbanyak pada bulan Januari yaitu 25 kasus.
Baca juga:
- Misteri mengapa COVID-19 kini menjadi penyakit yang kurang mematikan
- Indonesia laporkan kasus HMPV Apa gejala HMPV dan bagaimana penyebarannya?
- COVID-19: Apa itu varian baru FLiRT dan seperti apa gejalanya?
Meskipun begitu, Masdalina Pane dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) menilai "tren penurunan" yang diklaim Kemenkes tidak dapat dipastikan.
Hal ini, menurutnya, disebabkan sistem pengawasan COVID-19 di Indonesia saat ini "tidak cukup adekuat untuk menunjukkan kondisi sebenarnya".
"Dulu, peta [wabah COVID-19] bisa diukur karena semua [orang] yang memiliki gejala dites dan itu ditanggung pemerintah," ujar Masdalina ketika dihubungi pada Senin (02/06).
Masdalina menilai perubahan sistem pengawasan ini membuat laporan kasus COVID-19 di Indonesia "tidak konsisten" dengan negara-negara lain.
"Di negara luar meningkat, di negara kita turun. Apakah benar turun? Itu tidak bisa kita pastikan," ujarnya.
Manajer Hukum dan Humas RSUP H. Adam Malik, Rosario Dorothy Simanjuntak, mengatakan pihaknya sudah tidak lagi membuka layanan untuk pemeriksaan COVID-19 seperti rapid test dan tes PCR.
"Kalau memang merasa punya gejala nanti akan ditindaklanjuti dokter sesuai gejalanya," ujar Rosario kepada wartawan Nanda Batubara yang melaporkan untuk BBC News Indonesia pada Senin (02/06).
Terpisah, dr. Tia yang bertugas di sebuah RS di Jakarta Pusat menyebut gejala COVID yang menyerupai flu pada umumnya membuat orang jarang untuk tes swab.
"Dulu kalau sakit, kita langsung swab, kan? Jadi, ketahuan COVID atau tidak. Sekarang sudah tidak begitu lagi," ujarnya.
Masdalina menilai masyarakat cenderung melihat kondisi layanan kesehatan sebagai indikator utama. Jika tidak ada penumpukan pasien bergejala serupa atau peningkatan rawat inap, serta tidak banyak petugas kesehatan yang sakit, maka situasi dianggap baik-baik saja.
Masdalina menekankan perlunya "data yang riil" untuk benar-benar mengetahui situasi di lapangan.
"Wabah itu tidak bisa diprediksi," ujarnya.
Pada 2020, Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) melaporkan idealnya dibutuhkan tes setidaknya untuk 40.000 orang setiap harinya untuk memenuhi standar 1 tes per 1.000 populasi per minggu.
Perhitungan ideal ini dengan memperkirakan dengan jumlah penduduk mencapai 270 juta orang.
"Walau begitu, berdasarkan pemantauan kami, rata-rata tes harian COVID-19 di Indonesia pada 2020 tidak selalu mencapai angka tersebut," ujar Kepala Riset dan Kebijakan CISDI, Olivia Herlinda.
Seberapa kuat pengawasan COVID-19 di Indonesia?
Masdalina menyebut sistem pengawasan COVID-19 di Indonesia mengalami perubahan sejak status pandemi secara resmi dicabut oleh pemerintah pada tanggal 21 Juni 2023.
Setelah status pandemi dicabut, pengawasan COVID-19 disatukan ke surveilans Influenza-Like Illness (ILI) dan Severe Acute Respiratory Infection (SARI).
Fasilitas kesehatan integrasi COVID-19, ILI, dan SARI ini disebut sentinel dan jumlahnya terbatas. Data WHO terakhir menunjukkan faskes integrasi ini mencapai 74 lokasi di seluruh Indonesia pada tahun 2024, meningkat dari 46 di tahun 2023.
Masdalina menyebut fasilitas kesehatan umum yang bukan merupakan bagian dari jaringan sentinel tidak secara rutin melakukan tes COVID-19.
Padahal, "COVID ini hampir sama dengan influenza. Virusnya itu tidak stabil sehingga mudah bermutasi," ujar Masdalina.
Senada, epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, mengatakan terbatasnya rumah sakit yang secara aktif menerima tes COVID-19 membuat posisi Indonesia rentan.
"Kalau ada varian yang masuk ke negara kita, kemungkinan besar tidak terdeteksi," ujar Miko yang dihubungi terpisah.
Menurut Miko, jumlah orang yang bepergian ke Thailand dan Malaysia cukup banyak sehingga "kemungkinan besar varian [di negara mereka] sudah ada di negara kita".
"Namun, negara kita belum mendeteksinya," ujarnya.
Sementara Kepala Riset dan Kebijakan CISDI, Olivia Herlinda, menyoroti sejumlah kekurangan dari sistem surveilans di Indonesia.
"Indonesia sayangnya belum memiliki sistem pelacakan, deteksi, isolasi, transparansi data, dan pengawasan penyakit menular yang mumpuni untuk merespons ancaman-ancaman kesehatan baru," ujar Olivia.
Dalam CISDI White Paper 2024, salah satu temuan mereka dalah sebagian besar puskesmas di Indonesia masih berbasis kertas dan tidak real-time yang berdampak pada akurasi dan kecepatan pelaporan.
Olivia juga menyebut integrasi yang lemah antara sistem kesehatan publik dan swasta.
Hal ini, imbuhnya, menyebabkan partisipasi faskes swasta dalam surveilans masih rendah.
CISDI juga mencatat sistem informasi terpisah di tingkat kabupaten, provinsi, dan pusat pada masa pandemi, sehingga menyebabkan ketidaksesuaian data di banyak wilayah.
Baca juga:
- Pindaian MRI temukan pasien 'COVID panjang' lebih mungkin alami kerusakan organ
- Kasus COVID di Indonesia meningkat akibat varian baru - Apa gejalanya dan apa saja yang harus diwaspadai?
- Uji vaksin TBC disponsori Bill Gates Apakah warga Indonesia jadi 'kelinci percobaan'?
Di sisi lain, Olivia juga melihat publik tidak lagi memperhatikan perkembangan dan penularan COVID-19.
Hal ini, menurut dia, dipengaruhi perubahan status COVID-19 dari pandemi global ke endemi, hingga akses ke vaksinasi yang semakin terbatas.
"Ini belum ditambah dengan intensitas informasi publik yang sudah menurun dari tahun-tahun sebelumnya," ujarnya.
Olivia menggarisbawahi situs-situs yang mengelola data kapasitas surveilans COVID-19 kini tidak bisa lagi diakses publik.
Varian COVID apa yang dominan di negara lain dan apakah Indonesia memilikinya?
Menurut laporan Kemenkes, varian COVID-19 yang dominan di Thailand adalah XEC dan JN.1.
JN.1 juga merupakan varian yang dominan di Hongkong.
Adapun di Singapura yang dominan adalah LF.7 dan NB.1.8 (turunan JN.1), sementara di Malaysia varian dominan adalah XEC (turunan JN.1).
Di Indonesia, Kemenkes menyebut varian COVID-19 yang dominan beredar adalah MB.1.1.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Aji Muhawarman, mengatakan semua varian ini masih terkait dengan Omicron.
"Di Indonesia sedikit berbeda, tetapi induknya tetap Omicron," ujar Aji.
"Omicron itu lebih ringan dibandingkan Delta, artinya tidak menimbulkan keparahan atau kematian secara langsung."
Apakah penduduk Indonesia perlu khawatir?
Masdalina menyebut gejala varian dari turunan Omicron cenderung tidak berat, apalagi bagi mereka yang memiliki imunitas yang baik.
"Tidak sampai sesak atau saturasi oksigen turun. Ada batuk, tenggorokan sakit gejala khas infeksi saluran pernapasan akut tetapi tidak berat," ujarnya.
Meski begitu, dia mengingat kelompok rentan seperti lansia, bayi, dan mereka dengan komorbid bisa mengalami gejala yang berat.
Dicky Budiman, epidemiolog dari Universitas Griffith di Australia, menilai sebagian masyarakat sudah menganggap COVID sebagai "flu biasa".
"Namun, perlu diingat bahwa COVID ini ini tetap berbahaya. Bukan fase akutnya, melainkan fase kronisnya yang disebut dengan long COVID yang disebabkan infeksi berulang kali. Dan ini yang harus dicegah dan harus disadari oleh publik," ujarnya
Sementara Olivia dari CISDI mengatakan Indonesia harus tetap waspada dalam menanggapi kenaikan kasus di negara-negara tetangga.
Selain sistem surveilans yang masih belum kuat, Olivia mengingatkan letak geografis yang berdekatan, seperti Thailand dan Singapura, berpotensi meningkatkan penularan lintas negara.
"Mobilisasi lintas negara dengan negara-negara ini cukup tinggi," ujarnya.
Menurut data BPS, jumlah kunjungan warga negara Thailand ke Indonesia mencapai 10.073 orang pada April 2025 atau meningkat 2.88% dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara untuk Singapura, jumlahnya mencapai 97.506 pada April 2025 atau naik 20.04% dari tahun sebelumnya. Adapun Malaysia, jumlah kunjungan mencapai 170.018 orang atau sedikit di bawah tahun sebelumnya (170.644).Olivia juga mengingatkan tren vaksinasi COVID-19 juga sudah menurun sehingga melemahkan sistem imunitas kolektif.
Baca juga:
- WHO sebut COVID varian baru JN.1 'menyebar pesat' di dunia, bagaimana kasusnya di Indonesia?
- Seorang pria Jerman divaksinasi COVID 217 kali, apa dampaknya bagi kesehatan?
- Kasus COVID diprediksi melonjak setelah liburan Natal dan Tahun Baru - Mengapa kasus meningkat dan bagaimana mengantisipasinya?
Di sisi lain, Masdalina mengingatkan bahwa protokol kesehatan seyogianya melampaui pencegahan COVID-19.
Dia mencontohkan penyakit tuberkulosis (TBC) yang saat ini juga menjadi perhatian.
"Sekarang TBC sedang banyak dibicarakan. Protokol kesehatan dengan 3M itu juga bisa dilakukan untuk menjaga penyebaran TBC," jelasnya, merujuk pada langkah-langkah seperti memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.
"Sederhana sebenarnya. Dalam pandangan kami sebagai epidemiolog, penggunaan masker di tempat-tempat yang ramai seperti transportasi umum tetap relevan baik bagi yang sakit maupun tidak," tutur Masdalina.
"Mencegah itu dilakukan ketika kita tidak sakit."
Apa tanggapan Kemenkes?
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Aji Muhawarman menanggapi pandangan atas minimnya tes COVID-19 saat ini.
Aji mengingatkan situasi COVID-19 di Indonesia telah memasuki masa endemi.
"Sekarang sudah endemis dan COVID itu sama seperti influenza pada umumnya. Gejalanya, kan, juga sama, ada batuk, pilek, demam, nyeri," ujarnya.
"Jadi sebetulnya tes massal itu dilakukan kalau situasinya pandemi, seperti yang lalu-lalu," ujarnya.
Meski begitu, Aji menekankan Kemenkes tetap melakukan langkah antisipatif terhadap potensi lonjakan kasus, terutama dengan adanya kenaikan di negara tetangga.
Selain himbauan pencegahan dengan melaksanakan protokol kesehatan, Aji mengatakan pengawasan di pintu masuk negara seperti bandara juga akan dilakukan.
"Di bandara, kita bekerja sama dengan otoritas bandara untuk memperketat pemeriksaan. Misalnya, thermal scanner kita aktifkan kembali. Jika terdeteksi pelaku perjalanan dari luar negeri dengan suhu tubuh di atas normal [di atas 38 derajat Celcius[, akan kita periksa dan observasi lebih lanjut," terang Aji.
Selain itu, Kemenkes juga kembali mengaktifkan fitur "Satu Sehat Health Pass" sebagai deklarasi kondisi kesehatan bagi pelaku perjalanan.
Terakhir, Aji menjelaskan surat edaran Kemenkes tersebut lebih ditujukan ke pihak-pihak seperti dinas kesehatan dan rumah sakit untuk meningkatkan kewaspadaan, bukan untuk membuat publik khawatir.
"Pemantauan terus kita lakukan. Jangan sampai nanti tiba-tiba ada kasus, lalu kita tidak siap," ujarnya.
Wartawan Nanda Fahriza Batubara di Medan berkontribusi dalam artikel ini.
Simak juga Video: Kasus Covid-19 di Singapura Melonjak, Bagaimana dengan Indonesia?
(nvc/nvc)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini