Jakarta -
21 Mei bukan cuma angka dalam kalender, tapi merupakan simpul sejarah. Hari ketika rezim Orde Baru tumbang setelah 32 tahun bercokol. Runtuhnya kekuasaan Soeharto pada 21 Mei 1998 menjadi gerbang awal menuju era baru: demokrasi yang lebih terbuka, meski belum sepenuhnya merata. Reformasi menjadi kata sakral, bukan istilah politik saja, melainkan cara kita mengelola negara: dari sistem ketatanegaraan, birokrasi, hingga perlindungan hukum warga negara.
Gerakan reformasi tak lahir tanpa sebab. Krisis moneter Asia 1997 menjadi titik ledak. Inflasi melonjak hingga 77%, dan 40 juta orang menjadi miskin. Nilai tukar rupiah turun dari Rpb2.500 ke Rp 16.000 per dolar AS. Amarah rakyat dipicu oleh praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang mengakar selama Orde Baru. Mahasiswa mengambil peran sebagai penggerak utama.
Aksi mahasiswa mencapai puncaknya dalam Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998. Empat mahasiswa—Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie—tewas ditembak aparat dalam demonstrasi damai. Tragedi itu menjadi pemantik gelombang protes nasional yang tak terbendung. Hingga akhirnya, pada 21 Mei 1998, Soeharto mundur. Indonesia memasuki babak baru.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yang terjadi pasca-Soeharto bukan cuma pergantian tokoh di kursi kekuasaan. Selebihnya adalah reformasi sistem. Amandemen UUD 1945 antara 1999 hingga 2002 membentuk fondasi baru: presiden dibatasi maksimal dua periode, DPR diperkuat, dan TNI-Polri dipisah.
Kebebasan pers juga menjadi napas segar demokrasi. Jika di era Orde Baru jumlah media hanya 289, pada 2003 tercatat ada lebih dari 1.300. Undang Undang Otonomi Daerah 1999 membawa desentralisasi, memberi ruang bagi partisipasi lokal kendati menimbulkan problem baru seperti korupsi di tingkat daerah. Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang lahir tahun 2002 menjadi simbol harapan, walau belakangan kekuatannya mulai dilemahkan, terlebih pasca-revisi UU KPK 2019.
Sudah hampir tiga puluh tahun sejak 1998, cita-cita reformasi belum tercapai sepenuhnya. Survei Lingkar Survey Indonesia (LSI) 2023 menunjukkan 68% masyarakat menilai korupsi justru meningkat pasca-Reformasi. Politik rentan dikuasai oligarki: konglomerat dan dinasti menguasai sebagian besar kursi legislatif.
Lembaga antikorupsi menjadi pengingat bahwa semangat otoritarianisme belum benar-benar terkubur. Sekalipun, gerakan sipil seperti #ReformasiDikorupsi membuktikan bahwa semangat 1998 belum padam. Generasi muda masih menjaga nyala api itu, walau dalam medan perjuangan yang berubah.
Reformasi Birokrasi
Kalau kita berbicara soal reformasi, tak bisa tidak bicara birokrasi. Di sinilah wajah negara paling asli terlihat. Dari pengurusan KTP sampai izin usaha, semuanya bersentuhan langsung dengan rakyat. Sebaliknya, kita sadar bahwa birokrasi di negara kita masih dipenuhi dengan sisa-sisa mental Orde Baru. Korupsi, nepotisme, dan budaya inefisiensi masih bercokol kuat.
Reformasi birokrasi menjadi keniscayaan. Masyarakat kini menuntut pelayanan yang cepat, transparan, dan berorientasi pada hasil. Maka lahirlah e-government sebagai solusi digital yang memutus mata rantai suap dan pungutan liar.
Perpres No. 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) menjadi payung hukum penerapan sistem pemerintahan berbasis elektronik. Banyak layanan publik kini bisa diakses secara digital: lebih efisien, transparan, dan minim interaksi langsung—yang sering kali menjadi ladang pungli.
Sekalipun, digitalisasi belum merata. Area 3T (tertinggal, terdepan, terluar) masih mengalami kesulitan untuk mengakses internet. Padahal, Grand Design Reformasi Birokrasi Nasional (GDRBN) 2010–2025 menargetkan digitalisasi menyeluruh. Tantangan lain? Sumber daya manusia yang belum mumpuni dan resistensi dari birokrat yang nyaman dengan status quo.
Rekrutmen ASN kini berbasis Computer Assisted Test (CAT). Lebih objektif dan transparan. Tapi Problemnya bukan soal teknis semata. Tradisi birokrasi lama yang mengutamakan jabatan dan relasi masih ada. Sistem meritokrasi seringkali berbenturan dengan kultur lama yang enggan berubah.
Padahal, meritokrasi adalah prasyarat utama bagi birokrasi profesional. Pemerintah telah menyiapkan langkah-langkah riil: dari pelatihan intensif, sistem penghargaan berbasis kinerja, hingga penguatan lembaga pengawas seperti Ombudsman dan KPK. Tahun depan menjadi momen vital. GDRBN 2010–2025 akan berakhir, dan tongkat estafet diteruskan ke GDRBN 2025–2045. Visi besarnya: birokrasi Indonesia yang kolaboratif, kapabel, dan berintegritas, dengan pendekatan human-based. Berarti birokrasi yang bukan hanya efisien, tapi juga manusiawi, melayani, dan adaptif.
Penjaga Hak Rakyat
Di balik semua upaya reformasi birokrasi, hukum administrasi negara menjadi pilar yang tak kalah penting. Pastinya bukan sekadar kumpulan pasal, selebihnya mekanisme kontrol terhadap tindakan kekuasaan. Memastikan bahwa negara bertindak berdasarkan hukum, bukan selera kekuasaan.
Lima prinsip utama menopang hukum administrasi negara: legalitas, proporsionalitas, kepastian hukum, keterbukaan, dan supremasi hukum. Semuanya bertujuan untuk menjaga hak warga negara agar tidak dilindas oleh birokrasi atau pejabat yang sewenang-wenang. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menjadi garda terakhir bagi rakyat yang dizalimi kebijakan negara. Semisal, ketika izin pembangunan apartemen di kawasan resapan air dibatalkan lantaran warga menggugat. Atau ketika SK pengangkatan ASN dibatalkan sebab seleksinya cacat prosedur.
UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan menguatkan posisi warga. Jika keputusan pemerintah dianggap melanggar hukum, rakyat punya waktu 90 hari untuk menggugat. Namun sayangnya, banyak warga belum tahu cara menggugat, dan beberapa pejabat menolak untuk mengikuti keputusan PTUN.
Hukum administrasi kini juga merespons perkembangan zaman. Digitalisasi memberi ruang bagi kontrol publik, misalnya lewat aplikasi SABER Pungli. UU No. 23/2014 memperkuat peran pemerintah daerah dalam layanan publik, dan juga membuka ruang baru bagi penyalahgunaan, seperti pungli atas izin usaha mikro.
Kasus-kasus pokok, dari proyek LRT Jabodebek yang tersandung ganti rugi lahan, sampai sengketa izin restoran di Bali, menunjukkan bahwa hukum administrasi bukan sekadar teori. Justru hadir dalam kehidupan sehari-hari, dan berperan menjaga keadilan.
Reformasi, dalam arti paling luas, yakni proses yang tak pernah selesai. Menuntut partisipasi. Butuh kontrol publik yang aktif, birokrasi yang mau berubah, dan hukum yang berpihak pada keadilan. 21 Mei bukan akhir. Sejatinya pengingat bahwa demokrasi dan pemerintahan yang adil mesti diperjuangkan—dari jalanan, ruang sidang, hingga ruang-ruang pelayanan publik.
Heru Wahyudi, Dosen di Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang
(jat/jat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini