Indonesia dan Kemerdekaan Palestina

2 days ago 10

Jakarta -

Ketika Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa Indonesia dapat membuka hubungan diplomatik dengan Israel jika, dan hanya jika, Israel terlebih dahulu mengakui kemerdekaan penuh Palestina—ini bukan hanya pernyataan politik, tetapi manuver diplomasi yang menggambarkan wajah baru politik luar negeri Indonesia: berani, rasional, dan tetap berpijak pada prinsip.

Presiden Prabowo bukan hanya kepala negara. Dalam dinamika geopolitik saat ini, beliau tampil sebagai wajah diplomasi Indonesia: seorang nasionalis sejati yang tak ragu menyampaikan sikap keras namun adil kepada dunia. Keberanian diplomatik seperti inilah yang selama ini dinantikan dari negara-negara berkembang: mengambil posisi tanpa harus tunduk, bernegosiasi tanpa harus menjual harga diri bangsa.

Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, menyatakan secara eksplisit bahwa Partai Golkar akan menempatkan diri pada posisi terdepan secara penuh mendukung langkah strategis Presiden Prabowo. Di bawah kepemimpinannya, Partai Golkar memastikan bahwa kebijakan luar politik negeri Indonesia akan terus berpijak pada konstitusi, berpihak pada kemanusiaan, dan tetap sejalan dengan semangat kebebasan global.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pernyataan Bung Karno pada 1962 kembali relevan dalam konteks ini:

"Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel."

Pernyataan itu tidak lahir dari kebencian, tapi dari prinsip anti-kolonialisme yang menjadi denyut nadi perjuangan bangsa ini. Bung Karno tidak menolak Israel sebagai bangsa, tetapi menolak Israel sebagai penjajah. Jika Palestina merdeka dan penjajahan berakhir, maka semangat itu—dalam tafsir yang adil—tidak menutup ruang kerja sama selama tetap berpijak pada keadilan dan kemanusiaan.

Perjuangan bangsa Palestina bukan soal agama. Ini bukan semata-mata isu Islam. Di seluruh wilayah Palestina hidup umat berbagai agama dan keyakinan: Islam, Kristen, Druze, bahkan Yahudi. Maka keliru besar jika perjuangan kemerdekaan Palestina dipersempit hanya sebagai narasi keislaman. Ini adalah soal hak hidup sebagai negara merdeka. Ini adalah soal keadilan global dan hak menentukan nasib sendiri.

Palestina adalah masalah kemanusiaan yang tidak terbatas pada satu agama atau kelompok agama tertentu. Meskipun sebagian besar penduduk Palestina adalah Muslim, konflik ini juga melibatkan warga Kristen, Yahudi, dan kelompok agama lainnya. Isu Palestina bukanlah perang agama, tetapi lebih kepada perjuangan hak-hak asasi manusia, otonomi, dan kemerdekaan.

Palestina adalah cermin realitas politik ketidakadilan internasional yang belum terselesaikan. Maka, memperjuangkannya adalah tanggung jawab moral umat manusia, siapapun agamanya. Kemanusiaan tidak mengenal sekat agama. Keadilan tidak boleh dikunci oleh tafsir mayoritas.

Langkah Presiden Prabowo menegaskan bahwa hubungan diplomatik hanya mungkin terjadi setelah pengakuan terhadap Palestina. Ini bukan bentuk kompromi, melainkan strategi diplomasi bersyarat yang sah menurut hukum internasional. Indonesia masih berdiri pada prinsip, namun kini melangkah dengan taktik.

Dalam arena diplomasi global, posisi Indonesia sangat strategis: negara Muslim terbesar, pemimpin ASEAN, anggota G20. Sikap kita tak boleh pasif. Kita harus menjadi penggerak, bukan pengikut. Diplomasi bersyarat adalah langkah nyata dan cerdas.

Partai Golkar memandang diplomasi sebagai alat perjuangan. Diplomasi yang digerakkan oleh akal sehat, dijiwai oleh konstitusi, dan diarahkan untuk membela keadilan. Maka kami berdiri penuh mendukung inisiatif Presiden Prabowo, bukan karena pragmatisme, tetapi karena prinsip.

Jika Israel menolak syarat itu, maka dunia tahu bahwa Indonesia sudah membuka pintu damai, dan Israel-lah yang menutupnya sendiri. Tapi jika Israel bersedia mengakui Palestina demi hubungan diplomatik dengan Indonesia, maka sejarah mencatat kemenangan tanpa kekerasan.

Sejarah tidak ditulis oleh mereka yang hanya berseru lantang, tetapi oleh mereka yang berani mengambil keputusan sulit demi masa depan yang lebih adil.

Indonesia tidak pernah meninggalkan Palestina. Tapi kini, kita tidak hanya berdiri diam. Kita melangkah maju, memimpin dengan strategi, dan berpijak teguh pada kemanusiaan universal.

Ali Mochtar Ngabalin, Ketua DPP Partai Golkar Bidang Kebijakan Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasional, Guru Besar Hubungan Internasional Busan University of Foreign Studies (BUFS) Korea Selatan

(imk/imk)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial