Ilustrasi : Edi Wahyono
Selasa, 27 Mei 2025
Setiap hari sejak pukul setengah enam pagi, Rizal sudah bersiap menjalani rutinitasnya sebagai pengemudi ojek online. Dalam tiga hari terakhir, ia hanya menerima segelintir orderan: satu pada hari pertama, tiga pada hari kedua, dan lima pada hari ketiga.
“Stuck di situ saya, tuh,” katanya kepada detikX pekan lalu.
Padahal ia sudah mencoba berbagai strategi, termasuk mendaftar sistem fitur berbayar seharga Rp 3.000 untuk tiga jam dengan janji tingkat kegacoran meningkat. Namun janji tinggal janji. Meski telah membayar, Rizal tetap tidak mendapat order.
“Saya udah nongkrong pagi-pagi di apartemen-apartemen, biasanya rame tuh, nongkrong nggak dapet,” ujarnya. Bahkan, saat berpindah ke titik-titik sibuk, seperti Gondangdia dan Pasar Senen, aplikasi tetap sepi.
“Zonk, dari jam 06.00 sampai jam 09.00.”
Pria 27 tahun itu merasa sistem yang diterapkan aplikator kini memprioritaskan mitra yang mau membayar lebih.
“Yang gacor itu yang bayar. Yang diprioritasin,” ucapnya.
Ia mulai merasakan ketimpangan sejak awal 2024, ketika fitur hemat dan slot mulai diterapkan. Sebelumnya, ia bisa mendapatkan pendapatan kotor Rp 1,3 juta hingga Rp 1,5 juta per minggu. Kini pendapatannya turun menjadi Rp 800 ribu, bahkan kadang hanya Rp 500 ribu per minggu.
“Kalau saya sih dihitung-hitung tuh sekitar Rp 50 ribuan,” ujar Rizal mengenai pengeluaran harian untuk bensin dan makan. Ia pun menghemat sebisanya, kadang hanya sarapan gorengan dan menahan makan siang demi menyisakan uang untuk keluarga di rumah.
Mengejar target, ia bekerja lebih dari 12 jam sehari, dari pukul enam pagi hingga sembilan malam. Meski aplikasi menyarankan istirahat, ia mengaku tak bisa benar-benar berhenti.
“Orderannya aja nggak ada. Orang kebanyakan nyender,” tuturnya.
Dalam satu hari, pernah hanya lima orderan yang masuk, menghasilkan pendapatan Rp 94 ribu. Setelah dikurangi potongan perusahaan penyedia aplikasi dan kebutuhan bensin, ia hanya membawa pulang Rp 30 ribu. Ia juga memperhatikan potongan aplikator yang semakin tidak menentu.
“Barusan saya nganter paket, itu potongan aplikasi 27 persen. Lumayan gede,” ujarnya.
Rizal rajin mencatat sendiri potongan-potongan yang ia alami, termasuk saat aplikasi mengambil hingga 45 persen dari tarif yang dibayarkan penumpang.
Saat ditanya soal servis kendaraan, ia hanya bisa menjawab pasrah. “Pendapatan hari ini buat servis hari ini. Kalau nggak dapet, ya nggak servis,” katanya.
Ke depan ia meminta pemerintah turun tangan lebih serius mengawasi aplikator. Potongan aplikator yang sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan KP 1001/2022 adalah maksimal 20 persen, terdiri atas 15 persen komisi dan 5 persen biaya penunjang. Namun ia merasa potongan lebih dari itu.
Massa aksi ojek online menggelar demonstrasi di Surabaya, Selasa (20/5/2025).
Foto : Deny Prastyo/detikJatim
Rizal mengaku pernah hadir dalam rapat di Kementerian Ketenagakerjaan, tetapi aplikator yang diundang enggan menemui para driver. “Karena apa? Ya pasti kalah debatnya, karena data-data pasti ada di driver,” ujarnya.
Begitu juga Reza, sehari-hari bekerja sebagai kurir paket dan makanan berbasis aplikasi. Sejak 2020, ia bergabung sebagai mitra pengemudi. Namun, seiring waktu, pendapatan yang ia terima justru menipis.
“Awalnya enak,” kenang Reza. “Jarak 1 sampai 4 kilometer itu bisa dapet Rp 9.600.”
Kini tarif itu turun menjadi Rp 8.000 untuk food delivery dan hanya Rp 6.400 untuk pengantaran dari area hub. Ia menyayangkan penurunan ini terjadi di tengah kenaikan inflasi dan bahan kebutuhan pokok yang kian mahal.
“Gaji (pekerja lain) naik, inflasi naik, tapi pendapatan kami justru menurun," ucap pria 29 tahun itu kepada detikX pekan lalu.
Beban kerja pun bertambah. Layanan antar cepat, seperti pengantaran instan, kini memberinya hingga empat paket sekaligus dalam sekali jalan. Padahal layanan itu mengedepankan kecepatan. Banyaknya paket instan yang dibebankan kepadanya dalam satu kali pengantaran membuat Reza kesulitan memastikan paket diterima tepat waktu.
“Customer sering protes. ‘Mas, saya pesen instan kok belum sampai?’ Saya jawab, masih ambil paket lain, Bu.”
Menolak pekerjaan bukan pilihan mudah. Aplikator menerapkan sistem poin untuk menindak mitra yang terlalu sering membatalkan dan telat mengantar pesanan.
Untuk bisa mengantongi Rp 200-250 ribu per hari, Reza harus bekerja 12 jam atau lebih. Jika hanya bekerja delapan jam, penghasilan bisa menyusut menjadi Rp 100-150 ribu. Padahal minimal, ia perlu mengeluarkan Rp 70-100 ribu sehari untuk operasional.
“Tapi itu nggak bersih. Masih kepotong bensin, kopi, makan,” ujarnya.
Dengan kondisi seperti ini, Reza mengaku sangat kesulitan menembus penghasilan bulanan Rp 3 juta. “Kadang bisa tembus, tapi berat. Harus narik tiap hari, nggak boleh libur,” ucapnya.
Bahkan cuaca pun jadi pertimbangan. Saat hujan lebat, ia harus berpikir dua kali. Sebab, selain soal kesehatan, alat kerja utamanya berbasis elektronik dan jaringan internet tanpa asuransi.
Beban lain datang dari kebutuhan rumah tangga. Kontrakannya seharga Rp 525 ribu per bulan, belum termasuk token listrik dan kuota internet, yang masing-masing memakan Rp 100 ribu. Untuk kebutuhan servis kendaraan, ia minimal merogoh kocek sebesar Rp 110 ribu sebulan untuk cek CVT dan ganti oli. Kalau harus ganti ban, bisa sampai Rp 700 ribu.
Di tengah semua tekanan itu, Reza hanya berharap satu hal, keadilan yang layak dari aplikator dan dukungan dari pemerintah. Ia juga meminta agar jaminan sosial, seperti BPJS Kesehatan, tidak dibebankan sepenuhnya kepada pengemudi.
“Harapannya, pendapatan kami lebih layak. Jangan sampai harus kerja 24 jam cuma buat dapat gaji setara UMR,” ungkapnya.
Nasib tak mujur juga dihadapi Iqbal. Pada awal Oktober 2023, hidup Iqbal berubah drastis. Saat menjadi jurnalis harian di Bandung, ia menerima surat pemutusan hubungan kerja (PHK) dari tempatnya bekerja selama hampir lima tahun. Surat itu datang tanggal 7, dan per 21 Oktober, namanya resmi tercoret dari daftar karyawan tetap.
“Jujur, mendadak banget. Biasanya kan ada jeda, ini langsung dua minggu kemudian saya lepas dari kantor," kata Iqbal kepada detikX pekan lalu.
Aksi demo pengemudi ojek online di halaman Kantor Gubernur Jateng, Kecamatan Semarang Selatan, Selasa (20/5/2025).
Foto : Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Pria 29 tahun sarjana lulusan Sastra Indonesia ini sempat rehat tiga bulan dan mencoba berbagai lamaran kerja. Namun tak satu pun berujung kontrak.
“Sudah ikut tes, psikotes, tapi nggak ada yang sampai tanda tangan,” ujarnya.
Ia mencoba bidang yang sesuai keahliannya—publishing, penulisan konten, hingga editor—tapi gagal menembus seleksi.
“Sempet ke perusahaan mesin pakan ayam, bagian konten. Tapi kalah saing sama yang pengalaman iklan. Mereka butuh copywriter, saya basic-nya wartawan,” ungkapnya.
Di tengah upaya mencari kerja, kondisi rumah tangga makin terimpit. Istrinya, yang bekerja sebagai admin sales di perusahaan internet, juga harus mengundurkan diri karena sedang hamil besar dan tak mendapat hak cuti dari sistem outsourcing.
“Tanggal 1 Oktober istri mau lahiran, tanggal 7 saya dapat surat PHK, tanggal 21 diberhentikan, tanggal 26 anak saya lahir. Kaget banget.”
Keputusan pun dibuat. Iqbal kembali menyalakan aplikasi ojek daring, yang sebelumnya hanya ia gunakan sebagai pekerjaan sampingan. Kini ojek daring menjadi tumpuan utama.
Sebagai mitra ojek daring, Iqbal merasa pendapatan kini jauh berbeda dibanding dulu saat sekadar mencari tambahan.
“Dulu bisa Rp 200-300 ribu per hari. Sekarang Rp 100 ribu aja udah mpot-mpotan,” katanya.
Ia biasa mulai on bid pukul 8 pagi setelah mengantar istrinya dan biasa pulang lewat tengah malam jika mulai sepi.
“Pernah dari jam 9 pagi sampai jam 12 malam cuma dapet Rp 170-180 ribu,” tuturnya.
Itu pun belum bersih. Untuk bensin harian bisa habis Rp 30 ribu. Ia juga harus mengisi saldo agar bisa mengambil order. Potongan aplikator rata-rata 15 persen, tapi tetap dirasa membebani.
Tarif yang dikenakan ke pelanggan, menurutnya, terlalu murah. Di Bandung, tarif dasar hanya sekitar Rp 8.900 untuk jarak 4 kilometer.
“Kadang jaraknya jauh, tapi cuma dibayar 10 ribu. Potongannya naik, tapi ongkos tetap murah,” keluhnya.
Penghasilan harian yang tak menentu membuat perencanaan keuangan rumah tangga menjadi rumit.
“Kalau bersih Rp 100 ribu sehari, ya Rp 3 jutaan sebulan. Tapi itu belum termasuk hari libur, motor rusak, atau saldo nggak cukup,” katanya.
Tentang kondisi aplikator ojol, ia mencermati potongan sebagai isu utama yang harus disorot. Ia tidak mengikuti demonstrasi besar seperti di Jakarta, tetapi mendukung tuntutan pengemudi.
“Yang paling nyangkut itu soal potongan. Kita ikut berjuang juga,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati mengatakan kondisi pekerja platform seperti pengemudi ojek online, taksi online, dan kurir online semakin tertindas di bawah status mitra yang diatur oleh perusahaan platform. Menurutnya, para pengemudi kini hanya bisa mengantongi Rp 50-100 ribu per hari.
Sejumlah pengemudi dari berbagai komunitas transportasi daring menggelar unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Perhubungan, Jakarta, Rabu (7/5/2025).
Foto : Pradita Utama/detikcom
“Di bawah standar upah minimum,” tegas Lily.
Potongan aplikator yang dinilai tidak transparan memperburuk keadaan. Lily menyebut, dalam satu kasus pengantaran makanan, pelanggan membayar Rp 18 ribu, tetapi pengemudi hanya menerima Rp 5.200, dipotong hingga 70 persen.
Waktu kerja pun jauh dari layak. Para pengemudi harus bekerja selama 12 hingga 16 jam sehari, tanpa hari libur, tanpa hak cuti haid atau melahirkan bagi pekerja perempuan.
Pakar hukum ketenagakerjaan dan perburuhan Universitas Gadjah Mada (UGM), Nabiyla Risfa Izzati, menyebut sistem kerja ojol saat ini sangat dekat dengan eksploitatif.
“Banyak mekanisme kerja yang diset oleh platform itu berujung merugikan bagi pekerja,” kata Nabiyla kepada detikX.
Ia menyoroti potongan pendapatan yang besar serta skema langganan program yang justru mengharuskan pengemudi membayar untuk peluang kerja lebih baik.
“Hal ini, kalau dilihat dari kacamata ketenagakerjaan, sangat merugikan.”
Menurutnya, masa keemasan ekonomi gig sudah berlalu. Dulu, banyak orang meninggalkan pekerjaan tetap untuk menjadi mitra aplikasi karena penghasilannya menjanjikan. Namun sekarang, kata Nabiyla, ada penurunan yang sangat drastis dari penghasilan mereka sebelumnya.
Dalam konteks regulasi yang belum jelas, sulit bagi pekerjaan gig untuk dianggap sebagai decent work atau kerja yang layak. “Yang terjadi justru orang bekerja gig karena dia tidak ada pilihan lain. Dan penghasilan yang dia dapatkan tidak bisa menghasilkan kesejahteraan,” ujar Nabiyla.
Ia pun menyatakan tegas sistem ojol yang sekarang berlaku belum adil. Meski disebut sebagai hubungan kemitraan, tidak ada kesetaraan antara mitra dan perusahaan.
“Perjanjian bisa berubah sewaktu-waktu sesuai kebutuhan platform tanpa kesepakatan dua belah pihak. Dari situ saja kita bisa melihat bahwa keadilan dari sistem ojol ini masih jauh dari ideal,” katanya.
Lebih lanjut, ia memperingatkan soal dampak jangka panjang dari model kerja ini. Ia mencontohkan kasus kurir yang dulu adalah pekerja tetap, kini banyak yang direkrut dengan sistem platform. Kalau diteruskan, akan banyak pekerjaan yang berakhir serupa.
Apakah perusahaan bisa adil tanpa menghilangkan karakter fleksibilitas dalam gig economy? Nabiyla menjawab mungkin. Namun syaratnya satu, regulasinya harus dibuat oleh negara, bukan oleh perusahaan itu sendiri.
“Kalau self regulation tanpa koridor yang dibuat negara, pasti menguntungkan platform. Mereka yang bikin aturan, ya pasti untuk keuntungan mereka sendiri,” tegasnya.
Ia menyebut selama ini regulasi yang ada seperti peraturan Menteri Perhubungan tidak cukup menjawab persoalan. Celah hukum itu, menurut Nabiyla, membuka ruang eksploitasi yang besar. Belum ada aturan jelas mengenai hubungan kemitraan: bagaimana seharusnya dijalankan, apa hak dan kewajiban para pihak, dan bagaimana keseimbangan tanggung jawab dibentuk.
“Sekarang hampir semua kewajiban diberikan kepada mitra, motor, alat kerja, dan sebagainya. Tapi di sisi lain, platform tak punya kewajiban untuk menjamin keselamatan atau kesehatan mitra,” Terang Nabiyla.
Bagi Nabiyla, jawaban utamanya ada pada satu kebutuhan mendesak, yaitu regulasi baru. Tanpa aturan yang adil dan berpihak, kata Nabiyla, kerja ojol akan terus menjadi bentuk relasi kerja yang eksploitatif, dengan beban berat di pundak pengemudi, dan keuntungan bersih di tangan aplikator.
Reporter: Ahmad Thovan Sugandi, Fajar Yusuf Rasdianto, Ani Mardatila
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim