Jakarta - Tekad pemerintah untuk mendirikan Sekolah Rakyat patut diapresiasi sekaligus dikritisi. Sekalipun di satu sisi bisa dianggap sebagai perhatian atas keprihatinan kondisi pendidikan di Indonesia, namun di satu sisi, obat yang kurang tepat justru memperparah masalah dalam dunia Pendidikan. Kebijakan tanpa pertimbangan yang matang justru akan menjadi bumerang.
Jika merujuk pada konsep Sekolah Rakyat yang masif di media sosial, sekolah rakyat akan berbentuk sekolah berasrama dan menyasar pada masyarakat miskin. Sekolah rakyat ditargetkan 200 sekolah dengan 1000 siswa dari Desil I dan II berdasarkan Data Tunggal Sosial Ekonomi. Semangat dan niat Sekolah Rakyat patut untuk diapresiasi. Namun harus tetap dikritisi.
Ada beberapa yang perlu dikaji dan diperhatikan agar tidak menjadi sumber masalah baru dalam dunia Pendidikan. Pertama, istilah Sekolah Rakyat. Istilah ini cukup populis dan mudah dikenal Masyarakat. Namun jika membaca catatan sejarah, istilah sekolah rakyat berbau kolonial. Sekolah rakyat didirikan oleh Belanda 1892 di Bandung dengan istilah Volkschool. Namun, pendirian sekolah di masa kolonial sangat segregatif dan diskriminatif. Sekolah rakyat didirikan untuk kalangan pribumi saja berbeda dengan kalangan priyayi dan kalangan Eropa.
Dalam konteks saat ini tanpa bermaksud terjebak dengan terminologi, Sekolah Rakyat juga bisa membentuk segregasi sosial. Selain istilah yang juga berbeda dengan umumnya, konsep yang direncanakan juga berbeda sekaligus berdampak sosial. Dalam konsep berasrama, berasal dari kalangan masyarakat bawah serta sekolah yang terpisah dari sekolah pada umumnya, Sekolah Rakyat bisa menimbulkan klaster dan segregrasi siswa. Siswa yang berasal dari Desil I dan II di sekolah tertentu akan melahirkan alienasi tersendiri khususnya bagi siswa. Hal ini semakin menjauhkan kehidupan mereka dari masyarakat. Sehingga melahirkan perbedaan dan pemisahan kehidupan yang dijalani.
Stigma Sekolah masyarakat miskin sangat mungkin terbentuk dalam benak masyarakat. Sangat Perlu untuk menggunakan istilah lain yang lebih substanstif dan inklusif sehingga tidak menimbulkan tafsir yang bias. Apalagi disandingkan dengan rencana pemerintah untuk mendirikan Sekolah Garuda yang sifatnya unggulan. Hal ini seakan menunjukkan antithesis satu sama lain. Satu sekolah dengan predikat kurang mampu dan satu lagi sekolah yang dianggap unggul dan berprestasi.
Kedua, Sekolah Rakyat yang di bawah naungan Kementerian Sosial akan menimbulkan masalah baru dalam ruang lingkup pendidikan. Misal, penggunaan 20% dana APBN untuk pendidikan yang selama ini masih menyisakan polemik pelik akan semakin buram. Selama ini, Anggaran 20% dari APBN disinyalir tidak efektif karena tersebar dibanyak Kementerian/Lembaga. Selain, anggaran dari 20% ke Kementerian Sosial semakin besar, struktur kelembagaan dunia oendidikan tidak fokus. Hal ini juga mengisyaratkan bahwa sekolah dibawah Kementerian Sosial didasarkan pada kondisi ekonomi semata. Hal ini akan melahirkan beban sosial dan psikologis baru. Berbeda dengan di bawah kementerian lain, yang karakteristiknya jelas. Sekali lagi, hal ini bisa menimbulkan segregasi di masyarakat.
Arah Kebijakan Substansif
Alangkah baiknya Pemerintah fokus pada perbaikan kebijakan dunia Pendidikan yang sudah ada. Jika niat awal pemerintah untuk membantu siswa dari kalangan miskin, saat ini sudah ada kebijakan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk siswa dan Bantuna untuk keluarga, Misal Program Keluarga Harapan (PKH) serta bantuan lainnya. Jika menurut Presiden Prabowo Subianto, untuk satu Sekolah Rakyat memerlukan 150 Miliar, jika target pemerintah membangun 200 Sekolah rakyat, maka akan menghabiskan 30 Triliun. Angka ini cukup besar dan bisa menambah siswa penerima dana BOS, untuk kesejahteraan guru atau membangun fasilitas sekolah.
Selain itu masih banyak masalah lain yang urgen untuk segera diselesaikan. Masalah infrastruktur dan fasilitas pendidikan, pemerataan guru hingga kesejahteraan guru yang masih dibawah standar merupakan permasalahan krusial lain yang belum tuntas. Selain itu, pertanyaan substanstif yang mestinya dijawab ialah apakah aksestabilitas Pendidikan yang sulit disebabkan oleh kondisi ekonomi masyarakat atau karena kehidupan pendidikan yang belum terbuka untuk masyarakat ke bawah? Hemat penulis, keberpihakan kebijakan dunia pendidikan yang sepenuhnya belum mengakomodir masyarakat bawah yang menjadi masalah sentral dan fundamental.
Dunia pendidikan khususnya sekolah termasuk perguruan tinggi saat ini dirasuki paradigma neoliberalisme. Pendidikan dianggap sebatas pemenuhan kebutuhan industri dan Pendidikan dianggap sebagai bentuk investasi ekonomi gaya baru. Hal ini mengakibatkan peserta didik yang mau menempuh dunia Pendidikan disyaratkan memiliki kondisi ekonomi yang mapan. Afirmasinya, persoalan pendidikan di Indonesia bersifat ideologis. Hal ini yang semestinya menjadi proyek perbaikan dunia Pendidikan. Menciptakan dunia pendidikan yang inklusif terhadap semua kelas merupakan keniscayaan. Alih-alih menciptakan "sekolah baru" yang secara partikularistik untuk kelas ekonomi bawah yang seakan justifikasi kelas atau kasta dalam dunia pendidikan.
Jika sudut pandang keadaan ekonomi yang menyebabkan pendidikan sulit diakses oleh kalangan masyarakat, hal ini sebenarnya sudah diantisipasi dengan kebijakan BOS, beasiswa untuk mahasiswa/siswa berprestasi, bantuan ekonomi untuk keluarga dalam bentuk PKH, dan bantuan sosial lainnya. Namun nyatanya hal ini kurang berhasil meningkatkan aksestabilitas karena di sisi lain, dunia Pendidikan bergerak dan dinamis sesuai kalkulasi pasar dan dinamis. Sehingga kebijakan perbaikan kehidupan sosial tidak sinkron dengan arah dunia Pendidikan. Hal ini disebabkan akar permasalahan utamanya pada paradigma Pendidikan yang tidak berubah.
Oleh karena itu, penting untuk mereformasi ideologi Pendidikan nasional alih-alih mengambil kebijakan yang parsial yang berpotensi menimbulkan masalah baru. Kita harus akui bahwa tidak ada kebijakan yang sempurna dan tanpa dampak sosial. Namun kebijakan yang substansial dan fundamental mensyaratkan analisis dan persiapan yang matang.
Penulis Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Politeknik Teknologi Kimia Industri Kementerian Perindustrian (jat/jat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini