Jakarta -
Di era ketika layar ponsel pintar lebih sering kita tatap daripada wajah sesama manusia, kekuasaan pun perlahan bertransformasi. Politik tidak lagi semata soal ide dan institusi, tetapi juga soal eksistensi digital dan kemampuan menciptakan konten-konten dengan narasi yang menggugah.
Fenomena tersebut kemudian melahirkan istilah baru, yakni kontenkrasi. Istilah ini merujuk pada kekuasaan yang diperoleh dan dipertahankan melalui konten. Dalam kontenkrasi, popularitas dan viralitas digital bisa menjadi jalan pintas menuju kekuasaan. Dalam kontenkrasi pula, siapa pun yang menguasai algoritma dan mampu memikat perhatian publik memiliki peluang politik yang nyata. Kekuasaan kini dapat berasal dari engagement, bukan melulu dari struktur formal atau pemikiran ideologis.
Demokrasi yang idealnya berbasis musyawarah atau permufakatan kini cenderung berubah menjadi kontes popularitas digital. Ruang publik dikendalikan oleh algoritma yang lebih memilih emosi ketimbang argumen. Suka atau tidak, itu realitanya. Media sosial, yang menjadi arena utama pertarungan, bukan lagi forum diskusi ide, melainkan panggung pencitraan. Di sinilah para politisi tampil sebagai entertainer yang bertarung demi merebut perhatian dan klik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Modal algoritmik
Pierre Bourdieu menyebut bahwa dalam masyarakat, terdapat berbagai bentuk modal, seperti modal ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik. Dan kini, kita menyaksikan lahirnya modal baru, yaitu modal algoritmik. Modal ini menandai pergeseran kekuasaan dari struktur institusional ke mekanisme digital.
Modal algoritmik adalah kemampuan seseorang untuk tampil secara konsisten dalam linimasa digital, menjangkau audiens luas, dan menghasilkan interaksi yang tinggi. Ini bukan hanya tentang eksistensi, tetapi juga tentang visibilitas yang dikurasi oleh mesin. Dan mereka yang memiliki modal algoritmik tinggi bisa mengonversinya menjadi modal politik. Dalam hal ini, like, share, serta view menjadi indikator baru kekuatan elektoral. Ini menegaskan bahwa algoritma turut memperkuat elektabilitas.
Maka, mereka yang populer, mereka yang viral punya peluang lebih besar di bilik suara. Dengan kata lain, popularitas dan viralitas online bisa turut menentukan peta kekuasaan offline.
Menurut laporan We Are Social (2024), pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai 167 juta, atau 60 persen dari populasi. Ini berarti mayoritas pemilih potensial terkoneksi dengan algoritma. Artinya pula, strategi digital saat ini bukan sekadar pelengkap, tapi menjadi kanal utama mobilisasi massa. Siapa pun yang ingin menang harus bisa memimpin narasi digital.
Laporan LIPI tahun 2022 menyebutkan bahwa 72 persen anak muda Indonesia mengaku mendapatkan informasi politik pertama kali dari media sosial. Ini menandakan bahwa pengaruh konten dalam membentuk opini publik sangat signifikan. Akan tetapi, ini bukan tanpa risiko. Ketika popularitas lebih penting ketimbang kompetensi, demokrasi tergelincir menjadi teatrikal. Politik menjadi pertunjukan alias show, bukan perdebatan gagasan.
Sensasi bukan subtansi
Jika politik disajikan hanya sebagai pertunjukan, maka publik terlatih untuk memilih berdasarkan sensasi, bukan substansi. Buntutnya, pilihan politik berubah menjadi pilihan emosional yang instan. Di sinilah letak ironi kontenkrasi. Ia demokratis karena semua orang bisa bersuara, tetapi juga manipulatif. Kenapa? Karena algoritma memfilter realitas.
Alih-alih memperkaya ruang publik dengan keragaman pandangan, algoritma justru menyaring realitas berdasarkan logika keterlibatan dan klik. Demokrasi pun kehilangan kedalamannya ketika interaksi politik direduksi hanya menjadi reaksi terhadap konten dengan memberi like, membagikan unggahan, atau menulis komentar tanpa refleksi.
Lebih dari itu, platform digital kini bukan lagi sekadar sarana komunikasi. Ia telah menjelma menjadi mesin pembentuk opini publik. Facebook, Twitter (kini X), TikTok, dan YouTube, semuanya bekerja dengan algoritma yang dirancang untuk memaksimalkan waktu tayang dan keterlibatan emosional pengguna. Akibatnya, kita hidup dalam echo chamber—ruang gema digital—yang memperkuat bias kita sendiri.
Informasi yang hadir tidak lagi memperluas wawasan atau mendorong dialog lintas pandangan, melainkan justru mengukuhkan keyakinan semula dan mempersempit sudut pandang. Di sinilah bahaya sebenarnya. Demokrasi tidak lagi dibangun lewat diskusi yang tenang dan masuk akal, melainkan lewat penyebaran emosi -- amarah, takut, atau rasa senang -- yang diatur oleh mesin algoritma.
Dalam konteks Indonesia, fenomena echo chamber di media sosial semakin diperparah oleh kehadiran pendengung politik atau buzzer. Dengan produksi konten yang masif dan sistematis, para buzzer tidak hanya menyebarkan narasi tertentu, tetapi juga memecah belah, mengarahkan opini publik, dan membingkai lawan politik sebagai ancaman. Akibatnya, ruang digital kita semakin disesaki polarisasi, bukan ruang untuk pertukaran gagasan yang konstruktif.
Dan konten yang terus-menerus hadir di linimasa media sosial membentuk persepsi publik seolah itulah kenyataan yang sebenarnya. Konsumsi berulang terhadap narasi yang sama melahirkan apa yang bisa disebut kebenaran semu. Maka, politik pun berubah. Ia bukan lagi soal ideologi atau program, melainkan soal konsistensi dalam menyajikan konten. Bahkan, kesederhanaan dan kesahajaan kini menjadi strategi yang dipertontonkan, di mana sikap yang tampak "apa adanya" berubah menjadi komoditas elektoral yang sangat bernilai.
"Every move you make, every step you take, I'll be watching you." Begitulah salah satu bait lagu Every Breath You Take dari The Police. Lirik tersebut tampaknya semakin relevan di era kontenkrasi saat ini. Kini, bukan hanya publik yang mengawasi setiap gerak-gerik politisi, tetapi juga algoritma media sosial yang secara diam-diam mencatat, menilai, dan menentukan sejauh mana eksistensi mereka terlihat di ruang digital.
Dalam konteks ini, literasi digital menjadi semakin krusial. Masyarakat perlu memiliki kemampuan untuk melindungi diri dari jebakan konten manipulatif yang kian marak. Kecakapan ini mencakup kemampuan membedakan antara konten yang otentik dan berbasis fakta dengan konten yang sengaja dirancang untuk menggiring opini dan memanipulasi emosi. Tanpa literasi digital yang memadai, publik mudah terombang-ambing oleh opini-opini dangkal dan bias. Akibatnya, ruang diskusi publik terperangkap dalam polarisasi dan penyebaran misinformasi pun makin sulit dibendung.
Mampu memilah informasi
Pada akhirnya, demokrasi di era digital tak bisa bertumpu pada algoritma semata. Sebab algoritma hanya mengejar perhatian, bukan kebenaran. Ia memprioritaskan apa yang menarik, bukan apa yang penting. Tanpa kesadaran kritis dari warga, kita akan terus digiring ke dalam echo chamber yang mempersempit perspektif dan memperkuat bias.
Demokrasi di era digital membutuhkan warga yang mampu memilah informasi, mempertanyakan narasi, dan tidak gampang terjebak dalam viralitas semu. Hanya dengan kesadaran itulah partisipasi politik bisa menjadi bermakna, bukan sekadar reaksi-reaksi impulsif di kolom komentar media sosial seperti memberi like, menulis komentar emosional, atau menyebarkan unggahan tanpa memverifikasi isinya.
Dalam lanskap semacam itu, di mana konten menjadi salah satu alat penentu kekuasaan, menjaga akal sehat bukan lagi sekadar pilihan etis, melainkan prasyarat agar demokrasi tidak kehilangan ruhnya.
-Djoko Subinarto, kolumnis, alumnus FISIP Universitas Padjadjaran
(jat/jat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini