Belenggu PHK dan Potensi Keretakan Mental Bangsa

2 weeks ago 24

Jakarta -

Pemutusan hubungan kerja (PHK) yang marak di Indonesia belakangan ini adalah hantaman kejiwaan yang sangat dalam bagi individu terdampak. Namun realitanya, secara publik peristiwa ini hanya diprosakan dalam bingkai beban sosio ekonomi saja, padahal magnitudo dampaknya sangat merusak kesehatan jiwa.

Dalam disiplin kedokteran kerja, kehilangan pekerjaan termasuk kategori 'life event stressor' yang paling tinggi skornya dalam skala stres Holmes-Rahe, setara dengan kematian pasangan atau perceraian. Luka psikologisnya dapat menjelma menjadi gangguan mental serius, yang jika tidak ditangani, meluas menjadi krisis sosial yang mengancam stabilitas keluarga dan komunitas.

Relevansi klinisnya jelas, karena pekerjaan merupakan social determinants of mental health, menjadikannya salah satu pilar utama kesehatan jiwa. Sehingga, kehilangannya memicu kecemasan, depresi, trauma jangka panjang dan reintegration failure atau kesulitan berintegrasi dengan kehidupan sosial. Itu sebabnya penting menyimak sebuah studi yang dipublikasikan di The Lancet Psychiatry (2020), bahwa individu yang terkena PHK memiliki risiko dua kali lipat mengalami gangguan depresi mayor.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Riset serupa dari American Psychological Association (2022) juga membuktikan bahwa lebih dari 50-persen korban PHK tak mampu melakukan reintegrasi sosial dalam kehidupan keseharian mereka karena perasaan kehilangan harga diri sebagai anggota masyarakat yang terkesan 'dipecat' dan menjadi pengangguran. Bukti konsekuensi psikologis ini pun diperkuat data di Indonesia.

Riset Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (2023) terhadap eks pekerja manufaktur di Jabodetabek menunjukkan bahwa 7 dari 10 responden mengalami gangguan psikologis setelah PHK, mulai dari depresi ringan, mengasingkan diri dari kehidupan sosial, hingga pikiran untuk menyakiti diri sendiri.

Namun proses PHK di Indonesia seringkali berjalan tanpa mitigasi dimensi psikososial, terutama aspek pemulihan mental. Merujuk program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) pemerintah untuk kasus PT Sritex misalnya, tak tampak paket pendampingan psikologis spesifik terkait reintegrasi sosial.

Kerusakan Komunitas

Pemahaman antropologi kesehatan memandang PHK sebagai disruptor psikososial, semacam peristiwa yang merusak keseimbangan individu dan komunitas. Jika tidak ditangani, efeknya bereplikasi, mulai dari meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga, perpecahan keluarga, deviasi perilaku, hingga disintegrasi solidaritas sosial.

Data BPS dan survei Puslitkes UI (2022) mengindikasikan bahwa keluarga korban PHK berisiko lebih tinggi mengalami ketegangan rumah tangga dan penurunan kualitas hidup. Artinya, kerusakannya tidak berhenti di individu, tetapi sanggup merembes ke ruang-ruang keluarga.

Dalam sejarah modern, kita melihat negara-negara yang gagal menangani dampak mental dari PHK massal, menyaksikan rakyat korban PHK mengalami disrupsi keluarga, komunitas dan sosial yang serius. Sebagai referensi global adalah situasi di Korea Selatan pasca krisis ekonomi 1997, dimana angka bunuh diri meningkat drastis dikalangan korban PHK dan keluarga yang ikut terdampak.

Di Yunani, selama krisis utang 2010-an, PHK besar-besaran di sektor publik menyebabkan lonjakan gangguan jiwa di rumah tangga hingga 40 persen. Sementara di Amerika Serikat, pasca PHK massal akibat pandemi, muncul istilah The Great Resignation Trauma, fenomena dimana jutaan orang menolak kembali ke dunia kerja karena pengalaman trauma kehilangan pekerjaan yang tak terselesaikan secara emosional.

Kita pun bisa membaca berbagai laporan global, disrupsi kejiwaan akibat PHK masif di Yunani menggaduhkan stabilitas ekonomi nasional dan kepercayaan terhadap pemerintah, serta menciptakan gelombang perpecahan dalam sistem sosial politik mereka. Jadi, ketika jiwa-jiwa warga negara runtuh satu per satu akibat PHK, fondasi kebangsaan pun ikut goyah.

Dan tidak pula bisa disangkal, krisis ekonomi 1997 di Indonesia yang menyebabkan gelombang PHK, juga berujung pada kerusuhan sosial dan krisis politik. Sejarah bangsa ini pernah mencatat bagaimana PHK massal bisa menjadi titik picu ketegangan antar kelompok, yang sejatinya harus kita cegah agar tak terjadi lagi.

Mitigasi Sistemik Ad-hoc

Pada tahap ini, negara memiliki tanggung jawab sistemik untuk melindungi kesehatan mental warganya yang menjadi korban PHK, beserta keluarga terdampaknya. Kompilasi penelitian dan studi literatur merekomendasikan mitigasi psikologis tidak bisa diserahkan pada individu semata, melainkan harus menjadi bagian integral dari kebijakan publik yang terstruktur.

Pengalaman Korea Selatan pasca krisis 1997, mengutip studi dari Park dkk (2006) menunjukkan bahwa pembentukan unit layanan kesehatan mental ad-hoc di komunitas berhasil menurunkan angka depresi dan bunuh diri secara signifikan. Di Finlandia, program Mental Health in Work Life yang dirancang secara khusus untuk korban PHK berhasil menstabilkan reintegrasi sosial dan produktivitas nasional dalam waktu dua tahun (OECD, 2021).

Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa strategi negara yang sistematis dan berbasis data mampu meredam krisis jiwa secara kolektif. Merujuk bukti ilmiah dua negara ini, pemerintah Indonesia harus progresif mengambil langkah serupa, sambil tentunya memastikan penciptaan lapangan kerja baru.

Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Kesehatan harus menginisiasi unit lintas sektor atau strategi struktural ad-hoc untuk intervensi psikososial dan reintegrasi sosial korban dan keluarga terdampak PHK. Pendekatan ini telah terukur secara ilmiah dapat menyeimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan ketahanan nasional.

Transformasi layanan kesehatan primer dari Kemenkes RI mutlak memberi akses kepada mitigasi psikososial korban PHK, yang mungkin secara fisik bebas dari penyakit organik, tapi sudah pasti rentan masalah kesehatan jiwa. Yang paling mampu laksana adalah membuka skrining psikologis, konseling, dan akses rujukan ke layanan psikiatri komunitas.

Reformasi sistem jaminan sosial juga harus ditempuh agar mencakup kesehatan jiwa bagi korban PHK dimasa depan. Sebagaimana dibuktikan oleh studi Ravesteijn di Jerman (2013), perluasan cakupan jaminan sosial spesifik bagi kasus-kasus PHK mampu menurunkan gejala depresi dan kecemasan secara signifikan pada individu yang kehilangan pekerjaan.

Langkah-langkah ini bukan hanya bentuk empati pemerintah semata, tetapi strategi jangka panjang menjaga elemen kunci bangsa, yaitu kesehatan jiwa kolektif rakyatnya. Ini komitmen sederhana yang sangat bisa ditempuh pemerintah tanpa harus khawatir menodai komitmen efisiensi anggaran. Karena bagaimanapun, sulit juga toh berharap pemerintah dapat segera mengganti pekerjaan para korban PHK ini.

Masyarakat sipil, akademisi, dan media harus mengawal isu ini agar tidak dibungkam oleh statistik. Lembaga riset dan kampus perlu memperkuat riset dampak mental dari PHK dan mendesak integrasi isu ini dalam kebijakan ketahanan sosial nasional.

Negara Harus Menyembuhkan

Kita terlalu lama mengukur dampak PHK dalam neraca anggaran dan statistik demografi saja. Tapi kita lupa bahwa angka dan grafik ini tak pernah mencatat luka batin, kecemasan, bahkan hilangnya etos kerja rakyat pasca kehilangan pekerjaan.

PHK ibarat belenggu yang pasti memporak-porandakan struktur kehidupan keluarga dan masyarakat. Saatnya menghentikan narasi publik bahwa PHK sebagai sekadar efek samping pasar bebas, atau perang dagang internasional saja, dan mulai memahaminya sebagai peristiwa sosial yang mengiringi perjalanan bangsa.

Luka mental dan kejiwaan akibat PHK menjadi scar kolektif yang menyabotase ketahanan nasional lewat setiap jiwa yang harus pulang ke rumah dengan membawa pesangon. Sehingga, kita tidak bisa lagi memisahkan isu PHK dari isu kesehatan mental pekerja.

Kini tak berlebihan bila kita semua sekali ini mendikte pemerintah untuk menunjukkan diri agar benar-benar berpihak pada buruh bukan hanya memberi pekerjaan, tetapi juga hadir saat mereka kehilangan pekerjaan, melindungi tidak hanya nafkah tubuhnya, tapi juga jiwanya.

Ray Wagiu Basrow, Pengajar Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran UI, Pendiri Health Collaborative Center (HCC), dan Inisiator Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa Indonesia

(akd/ega)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial