Akankah Konflik di Thailand Selatan Benar-Benar Berakhir?

2 weeks ago 19

Jakarta -

Sejak Januari 2004, wilayah selatan Thailand dilanda konflik berkelanjutan antara kelompok separatis yang menuntut otonomi lebih besar dan pasukan militer Thailand.

Kekerasan ini terjadi di tiga provinsi paling selatan Thailand, yaitu Narathiwat, Pattani, dan Yala -- daerah dengan mayoritas penduduk Muslim Melayu, berbeda dengan sebagian besar wilayah Thailand lainnya yang mayoritas beragama Buddha.

Wilayah ini berbatasan langsung dengan Malaysia dan telah mencatat lebih dari 23.000 insiden kekerasan yang menyebabkan lebih dari 7.000 orang tewas, menurut data Deep South Watch, sebuah lembaga think tank lokal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kelompok separatis utama, Barisan Revolusi Nasional (BRN), diduga terlibat dalam berbagai serangan yang menargetkan warga sipil, termasuk para biksu Buddha dan guru sekolah, menurut laporan Human Rights Watch.

Serangan mematikan memperburuk situasi

Antara Januari hingga awal Mei tahun ini, tercatat ada 38 insiden kekerasan, di mana itu hampir menyamai jumlah total kasus di sepanjang 2024. Don Pathan, seorang analis keamanan yang berbasis di Thailand, menyebut dua insiden serangan sebagai pemicu utama eskalasi konflik.

Insiden pertama terjadi setelah Dewan Keamanan Nasional Thailand dan BRN gagal mencapai kesepakatan gencatan senjata selama bulan Ramadan pada Maret 2025. Wakil Perdana Menteri (PM) Thailand Phumtham Wechayachai saat itu menegaskan bahwa kekerasan harus dihentikan sepenuhnya sebelum negosiasi bisa dilanjutkan.

Sebagai respons, BRN menyerang Kantor Distrik Sungai Kolok di Narathiwat pada 9 Maret. Serangan itu melukai 12 orang dan menewaskan dua petugas pertahanan sipil.

Insiden besar kedua melonjak setelah anggota senior BRN Abdulroning Lateh tewas dibunuh pada 18 April, yang membuat para pemberontak meningkatkan serangan yang melampaui aturan konflik, dengan mulai menargetkan warga sipil.

Salah satu serangan paling brutal terjadi pada 2 Mei, ketika seorang pria bersenjata menembak mati setidaknya tiga orang di area permukiman warga di Narathiwat, termasuk seorang anak perempuan berusia 9 tahun, seorang pria berusia 75 tahun, dan seorang perempuan tunanetra berusia 76 tahun.

Menanggapi aksi kekerasan ini, PM Thailand Paetongtarn Shinawatra mengirim lebih banyak pasukan ke wilayah tersebut. Pekan lalu, Wakil PM Phumtham menyatakan bahwa pemerintah siap untuk kembali membuka dialog damai.

Tekad Thaksin untuk mewujudkan perdamaian

Tita Sanglee, peneliti dari ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura, menilai bahwa langkah-langkah politik dari Paetongtarn dan Phumtham lebih bersifat simbolis ketimbang solusi nyata.

"Upaya damai dari Paetongtarn dan Phumtham lebih bersifat simbolis daripada substantif. Kita semua tahu bahwa kondisi di lapangan sebenarnya tidak mendukung adanya perdamaian," ujar Sanglee kepada DW.

"Pendekatan awal Phumtham juga cukup keras. Ia pada dasarnya mengatakan, "kami tidak akan terlibat dalam negosiasi kecuali BRN membuktikan legitimasinya dengan mengakhiri kekerasan,'" tambahnya.

"Saya melihat hal ini sebagai cara untuk mengalihkan perhatian publik ke pihak pemberontak dan pada akhirnya untuk melindungi perdana menteri yang masih muda dan belum berpengalaman," kata Sanglee, menunjukkan bahwa mengendalikan narasi tampaknya menjadi prioritas pemerintah.

Sementara itu, Thaksin Shinawatra, mantan PM Thailand saat konflik ini kembali memanas pada 2004, juga ikut terlibat mencari solusi. Ia mengunjungi wilayah selatan Thailand ini pada Februari lalu dan menyatakan harapannya agar konflik bisa benar-benar berakhir tahun depan.

Peran Malaysia dalam upaya perdamaian

Partai Pheu Thai yang kini berkuasa, yang sangat dipengaruhi oleh Thaksin, telah menghadapi tekanan untuk segera bertindak.

Sanglee mengatakan, tekad Thaksin itu telah mendorong pemerintah untuk bergerak.

"Mengingat janji publik Thaksin untuk mengakhiri konflik di wilayah selatan pada tahun depan itu, ada aksi nyata yang perlu ditunjukkan oleh pemerintah Pheu Thai untuk menanggapi masalah ini dengan serius dan benar-benar melakukan sesuatu," katanya kepada DW.

Thaksin juga merupakan penasihat informal bagi PM Malaysia sekaligus Ketua ASEAN, Anwar Ibrahim, yang kini didesak untuk lebih aktif dalam proses perdamaian ini.

Pertemuan resmi terakhir antara pemerintah Thailand dan BRN berlangsung pada Juni 2024.

Namun dalam unggahan media sosial bulan ini, Paetongtarn menyebut Malaysia kini memegang peran penting dalam putaran dialog perdamaian berikutnya.

Anthony Davis, analis keamanan yang berbasis di Bangkok, menyebut bahwa Malaysia sebenarnya bisa lebih aktif menekan BRN.

"Pihak Malaysia bisa berbuat lebih banyak untuk mengekang BRN. Beberapa pihak hampir pasti tahu sebelumnya soal serangan Ramadan itu, tapi tampaknya tidak melakukan apa pun untuk mencegahnya," katanya kepada DW. Davis juga menambahkan bahwa peran Malaysia sebagai "fasilitator" membatasi langkah-langkah yang bisa diambil.

"Ada juga pertanyaan tentang sejauh mana PM Anwar benar-benar fokus pada isu Patani dan apakah ia siap menerima risiko politik dalam negeri jika harus mengambil tindakan tegas terhadap para pemimpin BRN di Malaysia, padahal pada akhirnya ini adalah masalah internal Thailand," tambahnya.

Don Pathan berpendapat bahwa Thailand seharusnya lebih memperhatikan usulan dari BRN, alih-alih terlalu mengandalkan Malaysia.

"Malaysia bukanlah penengah yang netral. Malaysia punya kepentingan sendiri. Negara itu berbatasan langsung dan memiliki kedekatan budaya serta agama dengan orang Melayu Patani," katanya kepada DW.

Pathan menyarankan agar pemerintah Thailand menanggapi serius usulan balasan dari BRN yang disampaikan pada Februari lalu. Usulan itu mencakup pembentukan tim negosiasi, pembebasan tahanan politik, dan kehadiran pengamat internasional untuk mengawasi gencatan senjata.

"BRN telah menyatakan bersedia bernegosiasi di bawah Konstitusi Thailand. BRN dan warga Melayu Patani bersedia menjadi bagian dari negara Thailand, tapi tentu dengan syarat dan ketentuan mereka sendiri," tegasnya.

Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Khoirul Pertiwi

Editor: Melisa Lolindu

(ita/ita)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial