Pasien yang Lebih Kuat dari Besi

3 weeks ago 28

8 Mei diperingati sebagai Hari Talasemia Sedunia. Talasemia adalah kondisi bawaan di mana banyak sel darah merah yang pecah, sehingga timbul gejala anemia berat. Ini berbeda dengan anemia akibat gangguan pembentukan sel darah merah di sumsum tulang, bukan pula kanker darah.

Pada 8 Mei kemarin, Ahmad Faiz (35) dan istrinya mendampingi anak bungsunya, yang kini berusia enam tahun dan seorang pengidap talasemia beta HbE mayor, untuk transfusi darah. Mereka berangkat dari rumah mereka di Jakarta Timur ke Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Jakarta Pusat, dan baru kembali jelang petang.

Dalam sebulan, si anak sudah pasti izin empat hari tidak masuk taman kanak-kanak, sebab, butuh dua hari tiap dua pekan: satu hari untuk kontrol dengan hematologis atau dokter spesialis darah, dan satu hari lagi untuk transfusi. Setiap dua pekan itu pula, Ahmad Faiz mendapat ‘surat cinta’. Surat cinta adalah sebutan perawat dan orang tua pasien untuk surat pengantar mencari darah atau pendonor di Palang Merah Indonesia (PMI) ataupun bank darah rumah sakit.

“Hari pertama kami kontrol ke dokter, lalu ketahuan kebutuhan darahnya berapa kantong. Nanti perawat akan infokan darahnya ada atau enggak. Kalau darahnya ada berarti aman. Kalau enggak ada, baru deh dapat surat cinta. Tapi, meskipun darah tersedia, RSCM tetap kasih pasien surat cinta,” ujar laki-laki yang berprofesi sebagai jurnalis itu kepada detikX.

Ada imbauan bagi keluarga pasien untuk membawa pendonor mengingat stok darah selalu tidak cukup, terutama di waktu tertentu seperti bulan puasa, lebaran, serta libur natal dan tahun baru. Ahmad Faiz ingat betul sulitnya mencari pendonor di masa pandemi COVID-19. Seorang teman dari sepupu Ahmad Faiz mau mendonorkan darahnya, mereka janjian untuk bertemu di PMI DKI Jakarta di Jalan Kramat. Saat itu, PMI penuh orang dan kurang petugas karena banyak petugas yang sakit, antrean membludak.

“Si pendonor ini baru dipanggil petugas sekitar jam 10 malam. Mungkin karena dia sudah lelah menunggu, ngantuk, dan sepertinya lapar juga, pas dicek tekanan darah dan kadar hemoglobin tidak lolos. Ya sudah, akhirnya dia pulang. Di situ saya merasa enggak enak banget karena sudah merepotkan dia, di sisi lain sedih juga anak saya belum dapat darah,” kisahnya kepada detikX.

Hampir putus asa, sekitar pukul 11, Ahmad Faiz coba menelepon seorang temannya yang rutin donor darah. Temannya bersedia dan untungnya lolos skrining sehingga bisa diambil darahnya. Perasaan Ahmad Faiz campur aduk. Senang, tapi juga sungkan karena merasa merepotkan orang tengah malam.

“Sebagai orang tua pasien talasemia, saya selalu merasa punya utang budi yang nggak akan pernah bisa saya lunasi kepada orang-orang yang mau mendonorkan darahnya,” ungkapnya.

Jika tidak transfusi, nyawa anak terancam. Namun, dengan transfusi, ada ancaman lain dari kelebihan zat besi. Makanya, pasien harus rutin minum obat ‘kelasi besi’ untuk mengeluarkannya. Tanpa intervensi kelasi besi, tumpukan zat besi itu bisa 5-10 kali lebih banyak dari jumlah yang dapat diserap tubuh, yang nantinya berefek pada fungsi jantung dan organ lain hingga berujung kematian.

Untungnya, obat, biaya konsultasi, dan transfusi ditanggung semua oleh BPJS Kesehatan. Yang tidak ditanggung hanya vitamin penunjang. Meskipun, beberapa kali keluarga pasien ini dibuat repot oleh permasalahan administratif, seperti rujukan tidak masuk karena kesalahan sistem. Alhasil, ketika sudah di rumah sakit, tidak dapat dilayani. Harus kembali ke puskesmas, mengurus dari awal, dan sangat menyita waktu.

Namun, untungnya lagi, di tengah situasi penuh tantangan itu, anak tumbuh ceria dan memahami kondisinya. Ahmad Faiz dan istrinya menanamkan mindset positif kepada anaknya, bahwa ia tetap bisa mengeksplorasi banyak hal seperti anak-anak lain, hanya butuh rajin minum obat dan transfusi supaya kuat. Di hari transfusi, mereka biasanya membujuk anak dengan cemilan, atau jalan-jalan sepulang dari rumah sakit. Di luar itu, yang penting menghindari daging merah dan makanan kaya zat besi dan vitamin C, serta memenuhi asupan vitamin E dan asam folat.

Keterbukaan pada lingkungan sekitar akan kondisi talasemia, serta dukungan keluarga, teman, dan tenaga kesehatan yang perhatian dirasa sangat membantu. Terutama, dengan tidak membeda-bedakan anak talasemia dan anak lainnya. Keberadaan komunitas juga membuat keluarga pasien tidak merasa sendiri. Selain itu, kata Ahmad Faiz, dokter dan perawat di RSCM betul-betul peduli dan memantau perkembangan pasien, bahkan marah kalau ada orang tua yang telat membawa anaknya kontrol, atau pasien remaja yang mulai malas-malasan minum obat.

Idealnya Negara Mewajibkan Skrining Karier
Ahmad Faiz tak tahu menahu tentang talasemia sebelumnya, termasuk bahwa dirinya dan pasangan adalah karier sifat talasemia, atau pengidap talasemia minor, yang mana memang tidak bergejala. Ia baru mengetahui hal itu setelah anak keduanya didiagnosis talasemia mayor di usia 1,5 tahun. Waktu itu, si bungsu sering sakit, berat badannya stagnan, dan perutnya membesar. Sekilas mirip anak gizi buruk, padahal doyan makan dan diberi makanan bergizi oleh orang tuanya.

“Puncaknya dia demam tinggi hingga kejang dan harus dirawat di rumah sakit. Setelah didiagnosis talasemia, baru kami belajar bahwa ini penyakit keturunan. Kakaknya, usia 7 tahun, talasemia minor. Kelak, kami harus mencegah anak-anak kami menikah dengan sesama penderita talasemia atau pembawa sifat talasemia. Talasemia hanya bisa disetop dengan cara ini,” ujarnya.

Ahmad Faiz jelas tidak mendapatkan skrining talasemia pranikah. Padahal, ia bisa mengetahui kondisinya lebih dini dengan skrining itu. Baru pada 2018, anjuran skrining karier, termasuk jenis skrining pranikah, masuk dalam Keputusan Menteri Kesehatan tentang Tata Laksana Talasemia, tetapi belum menjadi suatu program wajib nasional.

Baru di Jakarta saja, berdasarkan Pergub DKI Jakarta No. 185 Tahun 2017, setiap calon pengantin wajib mendapatkan konseling dan pemeriksaan kesehatan, termasuk darah lengkap, untuk mendapatkan Sertifikat Layak Kawin. Skrining pranikah yang hasilnya salah satu atau kedua calon pengantin punya kondisi talasemia, idealnya diikuti dengan konseling genetik, untuk mengedukasi kemungkinan anak lahir dengan talasemia, sehingga pasangan dapat mengambil keputusan dengan bijak, apakah membatalkan pernikahan, atau melanjutkan tanpa mempunyai anak, misalnya.

“Banyak orang tidak tahu soal penyakit ini. Karena anak kami jadi penderita, kami jadi sering ngoceh soal ini ke kerabat atau tetangga biar makin banyak yang teredukasi. Sudah saatnya ada sosialisasi yang terstruktur, sistematis, dan masif tentang talasemia. Karena berurusan dengan pernikahan, maka keterlibatan Kementerian Agama juga perlu. Kalau bisa gandeng pemuka agama,” usul Ahmad Faiz.

Indonesia, meski berada di ‘sabuk talasemia’, dengan prevalensi karier talasemia tinggi yaitu 3-11 persen dari jumlah penduduknya, serta talasemia peringkat keenam di pengeluaran tertinggi BPJS Kesehatan sepanjang 2023 (Rp 604 miliar), entah bagaimana belum memiliki program skrining massal atau skala besar untuk identifikasi karier, lebih-lebih yang dilakukan sejak dini.

“Logikanya, orang saling jatuh cinta dan sudah siap menikah, lalu tiba-tiba diinformasikan ada penyakit talasemia dan disuruh cek kesehatan dulu. Andai keduanya positif karier, rasanya bakal sulit untuk meminta membatalkan pernikahan,” komentar Ahmad Faiz.

Beberapa negara lain yang juga masuk sabuk talasemia, seperti Siprus dan Italia, telah sukses menekan angka kelahiran bayi talasemia mayor dengan program pencegahan. Pelajaran tentang talasemia diajarkan di sekolah-sekolah di Siprus dan pihak gereja turut mensyaratkan calon pengantin skrining talasemia. Iran, Palestina, Saudi Arabia, dan Turki juga mewajibkan skrining talasemia untuk warga negaranya. Di kota Montreal, Kanada, juga kota Marseille, Perancis, skrining ini dilakukan kepada siswa SMA. Bahkan Thailand punya program skrining karier yang melibatkan pelayanan kesehatan primer.

Sebetulnya, sejak 2023, skrining talasemia jadi salah satu program perluasan deteksi dini 14 penyakit penyebab kematian tertinggi, bagian dari transformasi layanan kesehatan primer oleh Kemenkes. Peserta BPJS Kesehatan yang dalam keluarganya ada penderita talasemia, maka seluruh keluarga dapat dilakukan pemeriksaan di puskesmas terdekat. Sayang, sampai sekarang program ini masih kurang terdengar gaungnya.

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial