Shen Nanxing berdiri tegap di depan kantor pengadilan sambil menggenggam tangan anak perempuannya yang masih kecil. Senyumnya mengembang, matanya berbinar penuh semangat. Di saat banyak orang larut dalam kesedihan usai perceraian, Shen Nanxing justru merasa bebas. Ia baru saja resmi berpisah dari Li Tao, suami yang telah menyelingkuhinya secara terang-terangan dengan wanita muda rekan kerjanya. Bukannya menyesal, Li Tao malah melontarkan hinaan terakhir sebelum mereka benar-benar berpisah. “Perempuan sepertimu, janda dengan anak, mana ada laki-laki waras yang mau!”
Namun, tepat saat kalimat itu terlontar, deru mesin mobil mewah terdengar mendekat. Tiga mobil hitam berhenti di depan pengadilan. Para bodyguard bersetelan jas rapi dan berkacamata hitam keluar, membuka pintu mobil utama. Dari dalamnya melangkah seorang pria muda elegan, mengenakan jas mahal dan jam tangan mewah. Dialah Gu Jin, CEO sebuah perusahaan besar yang dulu menyamar menjadi sopir pribadi Shen Nanxing. Diam-diam, Gu Jin jatuh cinta pada kebaikan hati Shen Nanxing. Hari itu, dia datang bukan hanya untuk menjemput, tapi juga untuk melamar Shen Nanxing. Mereka langsung mendaftarkan pernikahan. Shen menoleh sekilas ke arah Li Tao yang melongo kaku. Sementara Li Tao hanya bisa mendelik marah, Shen Nanxing akhirnya mendapat akhir bahagia.
Penggalan kisah tentang CEO yang diam-diam menyamar menjadi sopir pribadi hanyalah satu dari ribuan cerita micro drama asal China yang kini tengah merajalela di dunia digital. Dengan durasi super singkat dan format vertikal yang dirancang khusus untuk ponsel, micro drama ini dengan cepat menjalar lewat platform seperti ReelShort, TikTok, dan berbagai aplikasi streaming khusus. Meski jalan ceritanya sering kali terasa kelewat dramatis dan akting para pemainnya tak sekelas bintang film besar, justru di situlah letak pesonanya. Cerita-cerita ini begitu absurd, menghibur, dan bikin penasaran. Sekali menonton satu episode, bak tersihir, kita seperti terseret masuk dan tiba-tiba sudah menamatkan puluhan episode tanpa sadar.
“Awalnya aku juga ngerasa ini drama apaan sih, receh banget, aktingnya juga biasa saja. Tapi nggak tahu kenapa, setelah nonton satu video pendek di TikTok, aku malah nggak bisa berhenti,” kata Adelia Fitriani, perempuan berusia 23 tahun yang kini bekerja sebagai pegawai admin di Jakarta Timur. Dia baru saja menamatkan serial micro drama CEO pura-pura jadi sopir itu.
Adela pertama kali mengenal micro drama secara tidak sengaja. Ia sedang scroll TikTok malam-malam saat videonya muncul. “Waktu itu ceritanya tentang cewek yang dihina sama keluarga suami, ternyata malah punya hubungan rahasia dengan CEO muda yang menyamar jadi OB,” ujarnya sambil terkekeh. “Aneh banget sih, tapi nagih. Tiap episode selalu menggantung. Udah gitu aku bisa nonton sambil makan, sambil nunggu bus, sambil apa saja, fleksibel banget. Nggak kayak drama Korea yang panjang banget durasinya.”
Fenomena micro drama atau dracin (drama China pendek) memang sedang melanda dunia digital, terutama lewat format vertikal yang pas ditonton di ponsel. Setiap episodenya dirancang berdurasi singkat, hanya satu hingga lima menit dan disusun dalam ratusan episode pendek yang menggoda rasa penasaran. Micro drama ibarat sinetron Indonesia rating tinggi seperti Tukang Bubur Naik Haji, tapi dipercepat dan dipadatkan bak sinetron yang disuntik steroid.
Tidak seperti drama Korea yang biasanya terdiri dari 16 hingga 20 episode berdurasi satu jam lebih, opera sabun vertikal dari China ini bisa mencapai 70 episode lebih, dengan 10 episode pertama digratiskan. Sisanya? Tergantung strategi platform. Ada yang menawarkan sistem langganan bulanan, pembelian koin digital, atau membayar dengan menonton iklan. Dan strategi ini terbukti berhasil. Adelia misalnya, sudah langganan bulanan karena penasaran berat dengan kelanjutan cerita-cerita yang ia tonton.
Fenomena micro drama tak bisa dilepaskan pula dari tren digital saat ini. Di tengah rutinitas yang melelahkan dan tekanan hidup yang terus meningkat, micro drama menawarkan hiburan instan dengan imajinasi penuh penghiburan. Format vertikal 9:16 dan durasi singkatnya sangat pas dengan kebiasaan multitasking generasi muda, menonton sambil makan, sambil kerja, sambil commuting.
Jika diamati lebih dalam, cerita micro drama ini memiliki benang merah. Micro drama asal Tiongkok sering kali mengangkat tema perempuan yang dizalimi, bangkit dari keterpurukan, didukung oleh romansa dengan pria dari kasta ekonomi atas, CEO, pewaris hotel, atau bahkan pangeran dari kerajaan fiktif. Formatnya sederhana, tapi mampu memikat penonton lewat pendekatan emosional dan fantasi yang relevan.
“Ceritanya banyak tentang perempuan yang dihina, diselingkuhi, mereka pasti bakal bangkit dan malah punya suami kaya,” aku Adelia. Padahal di dunia nyata, pihak yang jahat sering kali menang. “Tapi justru itu yang bikin aku betah nonton. Nonton ini tuh kayak lagi kabur sebentar dari kenyataan dunia. Ending-nya bahagia terus, dan yang jahat selalu kena karma.”
Dalam setiap judul micro drama, selalu ada benang merah yang berulang: kisah CEO muda tampan, kadang menyamar jadi sopir atau tukang antar makanan, jatuh cinta dengan perempuan biasa yang awalnya diremehkan semua orang. Cerita ini secara gamblang memainkan fantasi ekonomi, gambaran hidup ideal di mana status sosial, kekayaan, dan cinta bisa diraih hanya dengan ketulusan dan keberanian melawan ketidakadilan.
“Ya, masa udah jadi CEO masih sempat-sempatnya punya waktu nyamar jadi sopir segala? Tapi justru itu yang lucu. Karena di kehidupan nyata, nggak mungkin kan kita yang cewek biasa, dijemput cowok ganteng naik Rolls Royce yang ternyata punya aset triliunan,” kata Adelia sembari tertawa. Di dalam hati penggemar micro drama, mungkin mereka juga ingin percaya bahwa dunia yang lebih adil dan penuh cinta itu benar-benar ada, meski hanya di layar ponsel genggam mereka.
Dalam beberapa tahun terakhir, drama mikro menjadi fenomena global yang mencuri perhatian penonton digital. Format drama pendek vertikal ini pertama kali meledak di Tiongkok, dan kini menyebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Laporan China Xinhua News, Selasa (20/5/2025), mencatat bahwa lonjakan popularitas micro drama di China dimulai sejak pandemi, ketika masyarakat mencari hiburan yang cepat, ringan, dan mudah diakses. Industri micro drama pun tumbuh pesat, mencatatkan pendapatan fantastis pada tahun 2024. Platform streaming khusus micro drama bermunculan, menandakan minat konsumen yang terus meningkat terhadap format ini.
Popularitas yang mulanya terbatas di Tiongkok, kini menyebar ke negara-negara Asia Tenggara, Timur Tengah, bahkan Amerika Serikat. Platform seperti Dramabox, FlexTV, ReelShort, Fizzo, dan lainnya menjadi gerbang bagi drama mikro menjangkau pasar global. Tak heran jika lanskap industri hiburan global mulai mengalami pergeseran. Drama mikro kini bukan lagi tontonan pinggiran. Ia telah menjadi industri bernilai miliaran dolar. Pada 2023, industri ini mencatat pertumbuhan sebesar 268% di China, dengan nilai pasar mencapai 37,39 miliar yuan (sekitar USD 5,3 miliar). Proyeksi menunjukkan angka ini bisa melampaui 100 miliar yuan pada tahun 2027. Pertumbuhan ini mencerminkan perubahan selera penonton yang kini cenderung menyukai konten pendek dengan narasi kuat yang bisa dinikmati di tengah kesibukan harian.
Keuntungan Besar dengan Modal Kecil
Salah satu daya tarik utama micro drama bagi para produser adalah efisiensinya. Keuntungan sebesar itu bisa dicapai karena biaya produksi rendah dengan set sederhana, kostum minimalis, dan aktor-aktris baru atau yang kurang dikenal. Distribusi dilakukan secara digital melalui platform khusus.
Menurut laporan Los Angeles Times, Joyce Yen, produser dan mantan penulis skenario di Tiongkok menyebut bahwa micro drama jauh lebih murah dibanding produksi televisi tradisional. Jika satu seri drama reguler berdurasi 20–30 episode bisa menelan biaya hingga USD 8 juta, maka satu seri micro drama bisa dibuat hanya dengan USD 14.000. Rata-rata produksi berada di kisaran USD 110.000 saja.
Sementara itu, Cassandra Yang, pendiri RisingJoy, perusahaan distribusi konten micro drama asal Tiongkok mengatakan bahwa keuntungan bisa diperoleh dalam waktu satu hingga dua bulan, jauh lebih cepat dibanding film layar lebar. “Bagi kami, ini adalah sinyal yang sangat menarik dibandingkan dengan film dan serial TV tradisional, karena lebih fleksibel dan lebih imajinatif,” ujarnya.
Saat ini, mayoritas micro drama yang didistribusikan RisingJoy masih diproduksi di Tiongkok. Namun, Yang melihat potensi besar untuk produksi lokal di pasar seperti Jepang, Korea, dan Singapura. Di sisi lain, Amerika Serikat kini menjadi pasar dengan pertumbuhan tercepat, bersama Indonesia, Brasil, India, dan Meksiko. “Saya pikir setiap wilayah punya potensi besar,” kata Yang. “Namun, saya harus katakan, semua orang ingin masuk ke pasar AS, karena ROI-nya lebih baik.”
Aturan Baru: Pemerintah China Mulai Turun Tangan
Namun, di balik popularitas yang meroket, pemerintah Tiongkok mulai waspada. Beberapa cerita dianggap terlalu mengglorifikasi gaya hidup mewah dan romansa tidak realistis. Menurut laporan Global Times, otoritas penyiaran di China mengeluarkan pedoman baru untuk mengatur micro drama, terutama yang menampilkan kisah romansa CEO. Pemerintah memperingatkan agar konten semacam itu tidak mendorong nilai-nilai materialisme, pamer kekayaan, atau mengejar kekuasaan lewat pernikahan. Pedoman tersebut juga mendorong agar cerita tentang pengusaha lebih realistis dan membumi, tidak terlalu berlebihan atau mengada-ada.
Pembuat micro drama kini disarankan untuk mulai mengeksplorasi tema-tema yang lebih berbobot, seperti sejarah atau kondisi bisnis kontemporer, alih-alih terus menerus fokus pada konflik rumah tangga atau kisah cinta melodramatis. Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah Tiongkok ingin mengarahkan industri hiburan ke jalur yang lebih sehat, relevan, dan mencerminkan nilai-nilai budaya lokal. Meski micro drama sukses besar di pasar global, bukan berarti ia boleh lepas kontrol di negara asalnya.