Jakarta -
Masih tergambar dengan jelas dalam ingatan Mba Niar (bukan nama sebenarnya) mengenai kesulitan yang dialami akibat kegagalan panen beberapa bulan yang lalu. Kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari dibarengi dengan keharusan mempersiapkan musim tanam berikutnya telah menjadi satu cerita berulang yang menyebabkan keluarganya terjerat hutang dengan jaminan hasil panen berikutnya.
Fragmen di atas menjadi salah satu cerita yang biasa terjadi dalam kondisi pertanian pangan di Indonesia. Jelas perlu kelembagaan petani yang lebih kuat agar posisi tawarnya meningkat. Peningkatan posisi tawar petani hanya bisa terjadi ketika kualitas hasil panen meningkat dan kesejahteraan petani dapat ditingkatkan atau minimal dapat dijaga terhadap keperluan-keperluan mendasar mereka.
Salah satu upaya tersebut adalah dengan pembentukan Badan Usaha milik Petani (BUMP) Dengan dukungan sejumlah instansi pemerintah, termasuk Bank Indonesia, beberapa bantuan teknis dan infrastruktur pendukung produksi pun berhasil digelontorkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Banyak pihak berharap produksi dan kualitas produk akan meningkat. Jika upaya ini dibarengi dengan memotong rantai pasok, akan membuat harga jual produk lebih kompetitif. Ini akan memberikan kesejahteraan lebih baik bagi para petani.
Produksi BUMP memang meningkat drastis hampir tiga kali lipat dalam waktu hanya setahun. Sayangnya, persoalan membesarkan BUMP tidak sesederhana itu. Seperti banyak kisah pengusaha sukses, beda omzet usaha memunculkan beda persoalan, sehingga butuh kecakapan manajemen yang baru juga.
Ternyata, memultiplikasi usaha bukan hanya mengalikan jumlah input dan infrastruktur produksi, tetapi juga manajemen usaha yang jauh lebih rumit. Pada titik tertentu, BUMP tersebut sulit untuk didorong menjadi lebih besar lagi tanpa melakukan 'overhaul' manajemen.
Modal kerja yang lebih besar membutuhkan kemahiran manajemen keuangan yang baik untuk menarik minat investor atau minimal meyakinkan Lembaga Keuangan/Perbankan untuk memberikan pinjaman. Hanya memberikan 'software' laporan keuangan ke BUMP ternyata tidak cukup.
Perlu kapasitas sumber daya manusia yang mampu menatausahakan laporan keuangan, mengelola input produksi, melakukan pembayaran dan pengiriman secara terjadwal. Jelas itu membutuhkan kemampuan tersendiri.
Selain itu, BUMP yang lebih besar memunculkan masalah baru dalam pemasaran produknya. Untuk bertahan, harus ada yang membeli produknya. Itu berarti kalau ada yang memberikan modal harus siap pula menanggung risiko kegagalan produksi dan pemasaran.
Lanjut ke halaman berikutnya
Di sinilah perlu peran Pemerintah Daerah (Pemda) melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai offtaker dari BUMP baik dari sisi permodalan maupun dari sisi pemasaran produknya. Namun mirisnya BUMD saja sebagai sarana memasarkan produk juga tidak akan menjamin keberhasilan usaha, karena masih begitu banyak BUMD yang belum memiliki kemampuan berusaha di bidang pangan terutama karena pangan memiliki karateristik barang mudah rusak (perishable goods).
Untuk itu, perlu upaya agar produk para petani dapat dijual dengan harga relatif cukup terjangkau yang menguntungkan petani kepada konsumen yang membutuhkan. Itu artinya penjualannya dapat memanfaatkan masyarakat sekitar dan tentu saja para pegawai pemerintah maupun swasta melalui berbagai koperasi yang dimiliki.
Dengan cara ini, produk terserap dengan baik, dan modal dapat kembali, petani dan konsumen sama-sama diuntungkan dengan harga yang relatif stabil dan pasokan yang terjaga. Kestabilan harga terjadi akibat pengurangan jumlah masyarakat yang turun langsung ke pasar sehingga jumlah permintaan tidak terlalu bergejolak.
Kebutuhan beras nasional tahun 2025 diperkirakan mencapai sekitar 31 juta ton beras (Kemenko Pangan, 2024) atau sekitar Rp 418,5 triliun (dengan asumsi harga beras Rp 13.500 per kg). Dengan asumsi output produksi beras dapat mencapai 32 juta ton, tentunya ini mencukupi kebutuhan beras rakyat selama 2025.
Namun persoalannya tidaklah sesederhana itu. Ada saat-saat bukan musim panen, terjadi kekurangan stok dan saat panen stok berkelebihan.
Di sinilah peran pemerintah melalui lembaga seperti Bulog dan BUMD untuk mencoba meratakan hal tersebut, menyerap Sebagian beras saat panen raya sekaligus untuk mengurangi resiko kejatuhan harga dan menjualnya kembali saat terjadi kekurangan stok. Hanya dengan kemitraan saling membutuhkan antara para petani dalam BUMP atau Gapoktan dengan BUMD di bawah pengawasan Pemda dapat merealisasikan itu.
Pada zaman Mesir kuno, pengumpulan bahan pangan pokok adalah dalam persentase tertentu dari produksi yang dihasilkan dan dapat dianggap sebagai pajak berupa natura. Pada masa kini, tentu saja mekanismenya berbeda, sebagian hasil panen perlu dimasukkan ke dalam lumbung pangan daerah dengan cara pembelian langsung dari petani.
Di negara besar manapun di dunia, pencapaian ketahanan pangan tidak dapat diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Teori ekonomi pun membuktikan bahwa mekanisme pasar cenderung tidak berfungsi sempurna ketika ada segelintir kelompok dengan kekuatan ekonomi besar berorientasi utama profit berkepentingan dalam pangan pokok.
Peran pemerintah agar lahan-lahan pertanian dikelola secara efisien dengan dukungan nyata bagi kesejahteraan bagi petani akan memastikan produksi pangan yang melimpah dan berkelanjutan.
Pembentukan Koperasi Merah Putih diharapkan dapat menjadi pengampu para petani baik dari sisi produksi maupun pemasarannya. Tentu saja keberhasilannya memerlukan kerja sama dan koordinasi yang baik antara Kementerian, Badan Pangan Nasional, Bank Indonesia, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Hanya dengan menyejahterakan petani melalui kestabilan harga jual, Manajemen produksi dan pemasaran yang baik maka Upaya mencapai ketahanan pangan bagi Indonesia yang makmur dan sejahtera dapat dicapai.
Gunawan Wicaksono
Ekonom Ahli Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Tengah
Simak Video "Video: Klarifikasi Menhut soal Isu Jadikan 20 Juta Hektare Hutan untuk Pangan"
[Gambas:Video 20detik]