Jakarta -
Sebuah film berjudul Liberal Arts (2012) berkisah tentang dua tokoh, Jesse dan Zibby. Tapi lebih dari itu, kedua figur ini sekaligus mencerminkan dua dunia yang berbeda: antara dunia yang matang dan dunia yang masih tumbuh. Jesse, lelaki yang telah menua bersama buku-buku dan nostalgia kampusnya, bertemu Zibby, mahasiswi cerdas yang belum genap dua puluh. Di antara mereka lahirlah percakapan: tentang puisi, musik klasik, dan hal-hal yang membuat hidup tampak lebih bernilai.
Ada ketertarikan di antaranya. Sampai pada satu titik, saat Zibby mengundangnya tidur bersama, Jesse lalu menolaknya. Ia berkata pelan, "You're smart and beautiful, but you're also nineteen." Ia tahu, ada batas yang tak boleh dilangkahi, bahkan oleh cinta yang tampak sah. Karena tak semua yang bisa dilakukan patut dilakukan.
Sayangnya, di dunia nyata, tak semua Jesse memilih pergi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di dunia kampus, tempat ilmu selalu diasumsikan netral, di ruang-ruang kelas yang penuh dengan ajaran etik, sejarah tubuh, dan kekuasaan sosial, faktanya menyimpan hasrat kuasa yang kadang tumbuh dalam diam. Ia tak selalu datang dalam bentuk ancaman, kadang ia berwujud pujian, perhatian intelektual, atau ajakan membahas puisi di luar jam kuliah.
Lara hati mendengar berita baru-baru ini; seorang dokter residen Universitas Padjadjaran memperkosa keluarga pasiennya di rumah sakit pendidikan. Ia memanipulasi kepercayaan dengan midazolam—obat penenang yang menidurkan kesadaran. Di UGM, seorang dosen Farmasi dipecat karena terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap mahasiswinya. Di Universitas Pancasila, rektor sendiri dilaporkan oleh staf perempuan atas dugaan pelecehan seksual.
Ketiganya bukan hanya berita. Mereka adalah narasi dari sistem yang diam terlalu lama, dan membungkam terlalu dalam.
Dalam banyak kasus, kekerasan seksual di kampus tak lagi berlangsung dalam gelap, tetapi dalam terang: di balik diskusi bimbingan, ajakan bertukar tulisan, atau ucapan "kamu pintar sekali" yang meluncur terlalu sering. Kuasa dosen tak hanya melekat pada gelar atau nilai, tetapi juga pada simbol dan citra. Kampus—tempat yang semestinya menumbuhkan keberanian berpikir—berubah menjadi ruang yang membuat korban bungkam.
Dalam Liberal Arts, kita diajarkan bahwa relasi emosional, bahkan yang paling literer sekalipun, tetap terikat oleh etika. Bahwa kedalaman diskusi tak bisa membenarkan ketimpangan usia dan kuasa. Jesse sadar bahwa keindahan Zibby tak boleh ditaklukkan oleh kedewasaannya. Tapi banyak Zibby di dunia nyata tak diberi ruang untuk memilih. Karena di hadapannya bukan hanya pria, melainkan dosen, pembimbing, profesor—mereka yang menguasai jalur penilaian dan masa depan akademik.
Dan, di sinilah kampus gagal. Ia sigap membenahi administrasi, tetapi lambat mengakui luka. Ia melindungi reputasi, tapi mengabaikan rasa aman. Ia membangun ruang kuliah, tetapi membiarkan ruang bimbingan menjadi senyap jebakan. Dunia akademik mencintai diksi dan teori, tapi tubuh yang trauma tak mengenal bibliografi.
Ironi terbesar adalah ketika kekerasan dibungkus dengan keintiman intelektual. Pelaku tidak selalu kasar. Ia bisa mengajak diskusi, memuji makalah, bahkan mengirimkan puisi. Tapi di balik semua itu, ada motif yang menukik ke dalam relasi tak seimbang—yang oleh banyak orang, bahkan korban sendiri, sulit dikenali pada awalnya.
Vaclav Havel pernah menulis: The salvation of this human world lies nowhere else than in the human heart, in the human power to reflect, in human meekness and human responsibility. Bahwa keselamatan bukan terletak pada sistem, tetapi pada kesediaan manusia untuk merenung, menahan diri, dan bertanggung jawab.
Persis seperti yang telah diingatkan Nabi Muhammad jauh abad ke belakang, yang menyampaikan sesuatu yang sederhana namun mendalam: Barang siapa yang dapat menjamin bagiku apa yang ada di antara dua rahangnya (lisannya), dan apa yang ada di antara dua kakinya, maka aku akan menjamin baginya surga. (HR. Bukhari)
Apa yang diucap Nabi SAW itu bukan sekadar pesan spiritual. Tapi fondasi etik dalam membangun relasi—terutama relasi yang rawan oleh kuasa. Kampus seharusnya menjadi penjaga nilai itu. Menjadi tempat relasi dosen dan mahasiswa dibangun atas kepercayaan, bukan pemanfaatan. Atas keberanian berpikir, bukan penaklukan tubuh.
Ini bukan sekedar catatan kemarahan atas kekerasan seksual. Uraian ini ajakan untuk melihat kembali: dunia akademik, betapapun tampaknya cerdas dan bermartabat, bisa menyimpan kekerasan yang sangat sunyi. Dan, intelektualitas tanpa keberadaban hanya akan menjadi kedok dari hasrat yang tak disadari atau disangkal.
Pada akhirnya, tidak ada pendidikan sejati tanpa keselamatan. Dan, tidak ada keselamatan jika yang paling lemah terus dibungkam oleh mereka yang mengaku paling intelek dan berilmu.
Muhammad Farid kolumnis
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini