Jakarta -
Beberapa waktu ini, wacana mengenai bonus demografi kembali ramai diperbincangkan oleh publik. Bukan semata karena siapa yang mengangkat kembali isu tersebut, tapi juga pada pembahasan mengenai apakah negeri ini benar-benar sudah bersiap diri menyambut bonus demografi itu.
Sedangkan fakta-fakta belakangan ini justru seolah berkata sebaliknya. Generasi muda yang diharapkan menjadi asset untuk memajukan bangsa ini, justru seolah tenggelam oleh keasyikan dunianya sendiri.
Lagi dan lagi, generasi muda negeri ini baru bisa menjadi "objek" dari globalisasi dan perkembangan teknologi yang semakin massif. Lalu kapankah kita bisa menjadi "para pemain" pada konteks ini? Bonus Demografi: Berkah atau Musibah?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para ahli memperkirakan bahwa pada tahun 2030 hingga 2040 mendatang, Indonesia akan kelimpahan banyak penduduk pada usia produktif. Pada masa tersebut dikatakan bahwa usia produktif penduduk Indonesia akan mencapai lebih dari 60% (komdigi.go.id).
Jika ditilik pada perspektif SDM, maka ada baiknya kita perlu hati-hati dalam melihat fenomena ini. Kehadiran bonus demografi perlu disikapi dengan serius oleh para pemangku kepentingan. Jangan sampai kehadiran generasi produktif itu justru menjadi beban bagi bangsa ini, dengan semakin banyaknya pengangguran, ketimpangan, dan kemiskinan.
Maka, diperlukan perencanaan dalam upaya meningkatkan kualitas dan kapasitas SDM negeri ini. Karena bagaimanapun juga, SDM adalah faktor kunci dalam pembangunan sebuah bangsa dan negara. Secanggih-canggihnya teknologi dan digitalisasi, tetaplah manusia yang membuat rancang bangun, mengembangkan, dan menciptakan teknologi itu sendiri.
Untuk menjadikan bonus demografi sebagai sebuah aset, maka ada beberapa tantangan yang perlu segera diselesaikan mulai saat ini, yaitu lapangan pekerjaan (mengurangi pengangguran secara masif), pengurangan kemiskinan dan ketimpangan, serta menciptakan SDM yang sehat jasmani dan rohaninya.
Badan Pusat Statistik melansir per Februari 2025, jumlah penduduk usia kerja di Indonesia sebanyak 216,79 juta orang (76,23% dari jumlah penduduk Indonesia yaitu 284,4 juta orang).
Dari jumlah tersebut, terdapat Angkatan Kerja sejumlah 153,05 juta orang (70,6% dari penduduk usia kerja), dan 63,74 juta orang (29,4%) yang termasuk Bukan Angkatan Kerja. Dari 153 juta orang penduduk usia kerja, terdapat 145,77 juta orang (95,24%) yang bekerja dan pengangguran sebanyak 7,28 juta orang (4,76%). Jumlah pengangguran ini bertambah 0,08 juta orang dibanding Februari 2024.
Pengangguran Adalah Tantangan
Lebih lanjut dilansir dari Kompas.id, dari 7,28 juta pengangguran tersebut terdapat SD atau lebih rendah 1,24 juta orang (17,09%), SMP 1,18 juta orang (16,20%), tamatan SMA 2,04 juta orang (28,01%), tamatan SMK 1,63 juta orang (22,37%), Diploma 1 hingga Diploma 3 sebesar 180 ribu orang (2,44%), serta S-1/Diploma 4 hingga S-3 sebesar 1,01 juta orang (13,89%).
Potensi bonus demografi tidak hanya dilihat sebagai tantangan untuk menciptakan lapangan pekerjaan, dimana angka pengangguran saat ini juga terus diupayakan pemerintah untuk semakin turun setiap tahunnya. Namun, faktor-faktor eksternal yang relatif sulit diduga dan dikendalikan seperti krisis ekonomi dan resesi serta pandemi dapat mengganggu program pemerintah yang telah dicanangkan.
Di sisi lain sebelum lapangan pekerjaan diciptakan, diperlukan SDM-SDM Indonesia yang mumpuni dan berkualitas sehingga dapat bersaing tidak hanya dalam ranah lokal, tetapi juga dapat berbicara banyak di kancah global.
Kualitas SDM adalah salah satu faktor mutlak dalam konteks persaingan global dan ketersediaan lapangan pekerjaan. Jangan sampai ketika lapangan kerja sudah banyak tersedia, justru tenaga kerja dari luar negeri yang mengisi ceruk-ceruk itu hanya karena kualitas SDM kita sendiri kalah bersaing.
Maka sekali lagi, peningkatan kualitas SDM penting dilakukan sesegera mungkin untuk menghadapi tantangan dan peluang bonus demografi yang akan hadir beberapa tahun ke depan.
Mengurangi Kemiskinan dan Stunting Secara Masif
Tantangan berikutnya pada konteks ini adalah angka stunting yang relatif masih tinggi di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, angka prevalensi stunting di Indonesia adalah 21,6% pada tahun 2022 (badankebijakan.kemkes.go.id), lalu menurun menjadi 21,5% pada tahun 2023, kemudian 19,8% pada tahun 2024, dan ditargetkan menjadi 18% pada tahun 2025 ini (kemenkopmk.go.id).
Penurunan prevalensi stunting di negeri ini adalah sebuah tantangan besar. Hal ini dikarenakan di sebagian besar wilayah Indonesia, angka prevalensi stunting masih berada di atas rerata nasional. Seperti di NTT, Sulbar, Aceh, NTB, dan Sultra (secara presentase) serta Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumut, dan Banten (secara jumlah).
Stunting masih menjadi persoalan utama dalam tumbuh kembang anak-anak generasi penerus bangsa ini. Faktor kemiskinan juga selalu menjadi alasan untuk disalahkan pada kasus-kasus stunting. Berbagai program dirancang untuk memperbaiki gizi anak-anak Indonesia dengan harapan kasus-kasus stunting dapat diminimalisir atau ditiadakan sama sekali.
Sementara itu, alokasi anggaran Kesehatan pada APBN 2025 sebesar Rp197,8 triliun. Sebagian anggaran ini akan digunakan untuk percepatan penurunan stunting dan berbagai intervensi terkait. Alokasi anggaran tersebut akan didistribusikan kepada 17 Kementerian/Lembaga.
Sementara sisanya akan dialokasikan kepada Pemerintah Daerah pada Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Non-Fisik. Fokus pemerintah pada Program Pencegahan Stunting ini adalah pada sektor bantuan operasional kesehatan, bantuan operasional Keluarga Berencana, serta ketahanan pangan dan pertanian.
Persoalan stunting ternyata tidak hanya sebatas diakibatkan oleh gizi buruk. Lingkungan yang sehat dan bersih, penghasilan keluarga yang mencukupi, kesiapan calon orang tua, dan akses air bersih juga menjadi faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak-anak.
Maka dari itu, pemerintah tidak hanya berfokus pada aspek kesehatan murni saja, akan tetapi juga berfokus pada program-program pendamping yang mengarah pada aspek-aspek lain di atas, yang berkaitan juga dengan program pengurangan kemiskinan ekstrem.
Bonus Demografi, Akankah Sekadar Ilusi?
Bonus demografi tentu memberikan peluang besar bagi setiap bangsa untuk maju dan berkembang. Namun demikian, diperlukan perhatian serius dari semua pihak terutama pemerintah untuk melihat potensi ini, lalu merancang program dan kebijakan yang tepat agar bonus demografi tidak berubah arah menjadi bencana.
Data dan fakta mengenai kondisi generasi muda saat ini dapat menjadi acuan penting dalam perancangan program itu. Pemerintah tidak boleh menafikkan bahwa saat ini generasi muda kita hanya menjadi objek, dan belum sanggup menjadi "pemain", baik dalam level lokal apalagi di kancang global.
Belum lagi terkait fakta bahwa literasi kita jauh tertinggal dari negara lain. Maka, sejak dari sekarang kita perlu menyiapkan diri dengan sebenar-benarnya untuk menjadi manusia-manusia Indonesia yang unggul dan berkualitas, bukan sekadar wacana apalagi menyajikan ilusi semata.
Oleh: Muhammad Nur, Pegiat Literasi dan Penulis Buku Menggunting Opini
DISCLAIMER: Artikel ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi tempat penulis bekerja saat ini.
(hns/hns)