Jakarta -
Konflik antara India dan Pakistan adalah salah satu konflik berkepanjangan paling kompleks di dunia modern. Setiap dekade membawa siklus baru ketegangan yang memperbarui luka lama dan mengguncang stabilitas Asia Selatan. Konflik India-Pakistan bermula dari sengketa wilayah Kashmir pasca pemisahan India tahun 1947, yang memicu tiga perang besar (1947, 1965, 1971) dan Perang Kargil (1999).
Sejak awal 2000-an, konflik bergeser ke bentuk asimetris, ditandai dengan serangan teror seperti Mumbai 2008 dan Pulwama 2019 yang mendorong aksi balasan militer India. Eskalasi baru konflik India-Pakistan pada tahun 2025 diawali oleh serangan kelompok teroris The Resistance Front (TRF) di Pahalgam, yang oleh India dianggap sebagai pecahan Lashkar-e-Taiba asal Pakistan. Serangan tersebut menewaskan sedikitnya 26 orang dan melukai 17 lainnya.
Eskalasi berlanjut dengan Operasi Sindoor yaitu serangan udara India ke kamp militan di wilayah Pakistan yang memicu respons militer dari Pakistan, saling tuduh di forum internasional, dan perang informasi di media sosial. Namun, untuk memahami dinamika ini secara komprehensif, kita tidak bisa hanya melihatnya dari aspek militer atau diplomatik semata. Konflik ini merupakan manifestasi nyata dari konsep yang dikemukakan Barry Buzan dan Ole Wæver, yaitu Regional Security Complex, di mana ancaman keamanan saling terkait dan membentuk pola konflik yang berulang di tingkat kawasan.
Regional Security Complex: Bingkai Teoritis Konflik yang Terjebak
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Regional Security Complex Theory (RSCT) menjelaskan bahwa sistem keamanan internasional tidak sepenuhnya global, melainkan terfragmentasi menjadi sejumlah kompleks keamanan regional, di mana ancaman dan persepsi keamanan antarnegara saling mengikat secara mendalam dan berkelanjutan. Dalam konteks India dan Pakistan, ikatan itu begitu kuat sehingga setiap aksi militer atau non-militer satu pihak akan segera menimbulkan reaksi dari pihak lain. Dengan kata lain, mereka berada dalam jebakan mutual insecurity.
Kashmir menjadi titik sentral dari regional complex ini. Tidak hanya soal klaim wilayah, tetapi karena isu ini menyangkut identitas nasional, legitimasi politik, serta manajemen konflik internal masing-masing negara. Selama ancaman perseptif ini terus berlangsung, maka kompleks keamanan India-Pakistan akan tetap aktif dan rapuh.
Peran Intelijen dalam Memperkuat atau Melemahkan Kompleks Keamanan
Intelijen menjadi aktor kunci dalam dinamika regional ini. Dua lembaga yang paling berperan adalah Research and Analysis Wing (RAW) dari India dan Inter-Services Intelligence (ISI) dari Pakistan. Kedua badan ini tidak hanya menjalankan fungsi pengumpulan informasi dan kontra-intelijen, tetapi juga terlibat dalam operasi-operasi diam-diam (covert operations) yang bisa memicu eskalasi. Sebagai contoh, India menuduh ISI terlibat dalam mendukung kelompok militan lintas batas yang melakukan serangan terhadap wilayah India. Sebaliknya, Pakistan meyakini RAW menjalankan operasi infiltrasi ke wilayah perbatasan dan mendukung kelompok separatis di Baluchistan.
Pada tahun 2025, serangan di kawasan wisata Pahalgam yang menewaskan puluhan warga sipil memicu operasi udara India terhadap markas JeM di Balakot. Peristiwa ini menunjukkan bahwa intelijen bisa menjadi titik awal peristiwa militer besar, terutama ketika kegagalan deteksi dini atau manipulasi informasi terjadi. Operasi semacam ini menunjukkan bagaimana intelijen bukan hanya instrumen defensif, tetapi juga instrumen strategis yang dapat mengubah peta ancaman regional.
Ketika Informasi Menjadi Senjata
Dalam lanskap konflik modern, perang informasi (information warfare) menjadi dimensi tambahan dari konflik intelijen. ISI dan RAW dituduh mengoperasikan jaringan akun media sosial, troll farm, serta operasi disinformasi yang menyasar opini publik domestik dan internasional. Masing-masing berusaha membentuk narasi: siapa korban, siapa agresor, siapa teroris, dan siapa pahlawan. Cyber intelligence dan open source intelligence (OSINT) menjadi ujung tombak dalam skenario ini. Satelit, sinyal elektronik, dan penyadapan komunikasi digunakan untuk menargetkan lokasi strategis, mengidentifikasi pergerakan militer, bahkan memengaruhi keputusan politik.
Namun, ancaman yang lebih besar muncul ketika proses pengambilan keputusan militer dan politik didasarkan pada informasi yang salah (misinformation) atau manipulatif. Inilah yang disebut Barry Buzan sebagai risiko "miscalculation" dalam regional security complex yang bergejolak.
Rekomendasi Strategis: Intelijen sebagai Jalur De-Eskalasi
Melihat kerentanan ini, maka salah satu jalan keluar dari konflik berulang India-Pakistan adalah menjadikan intelijen sebagai kanal confidence-building measure (CBM). Alih-alih hanya menjadi alat deteksi dan penyerangan, intelijen harus dimanfaatkan untuk membangun komunikasi rahasia antarnegara (back channel diplomacy).
Pada masa lalu, beberapa pertemuan tidak resmi antar pejabat intelijen senior dari kedua negara telah membantu menahan eskalasi lebih lanjut. Model semacam ini harus diformalkan dalam kerangka diplomasi intelijen yang berbasis pada prinsip transparansi terbatas, kesepakatan teknis, dan saling tukar informasi ancaman lintas batas.
Forum regional seperti SAARC (South Asian Association for Regional Cooperation) atau Track II Diplomacy harus didorong untuk memperkuat kapasitas dialog antar lembaga intelijen sebagai bagian dari upaya stabilisasi kawasan. Asia Selatan tidak dapat terus dibiarkan dalam siklus konflik reaktif tanpa instrumen pengendali yang solid.
Penutup: Dari Perang Bayangan Menuju Perdamaian Strategis
Melihat pola konflik India-Pakistan yang terus berulang tanpa penyelesaian permanen, rivalitas keduanya kini cenderung berkembang menjadi bentuk frozen conflict, sebagaimana dijelaskan oleh Barry Buzan dan Ole Wæver sebagai konflik yang tidak aktif secara militer dalam jangka waktu tertentu, tetapi tetap hidup secara politis dan psikologis serta berpotensi meletus kembali sewaktu-waktu. Fenomena ini terbukti relevan, mengingat eskalasi militer kembali terjadi pada tahun 2025, yang menunjukkan bahwa konflik tersebut tidak pernah benar-benar usai, melainkan hanya tertunda dalam bentuk ketegangan laten yang siap berubah menjadi konfrontasi terbuka kapan saja.
Dalam konteks regional security complex Asia Selatan, kondisi ini menjadi sangat berbahaya karena melibatkan dua negara bersenjata nuklir yang memiliki sejarah panjang mispersepsi dan miscalculation. Oleh karena itu, pendekatan jangka panjang melalui diplomasi intelijen, confidence-building measures, dan penguatan forum regional menjadi langkah strategis untuk mencegah konflik beku ini kembali mencair menjadi konfrontasi bersenjata.
Konflik India-Pakistan adalah manifestasi dari ketegangan yang tak terselesaikan dalam kompleks keamanan Asia Selatan. Ketika militer, diplomasi, dan opini publik tidak lagi mampu menjembatani jurang permusuhan, maka intelijen justru menjadi satu-satunya saluran yang masih mungkin digunakan untuk mengelola konflik secara rasional. Dalam konteks regional security complex, transformasi fungsi intelijen dari aktor pemicu konflik menjadi aktor penyelamat perdamaian adalah strategi jangka panjang yang harus mulai dibangun hari ini.
Yusup Rahman Hakim, M.I.Pol
Wakil Direktur Intelligence and National Security Studies)
(knv/knv)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini