KUHAP Baru dan Isu Obesitas Hukum

5 hours ago 2

Jakarta -

Pemerintah mentargetkan segera merampungkan Rancangan Undang Undang Kitab Hukum Acara Pidana. Langkah ini dikebut guna mendukung penerapan KUHP baru yang akan mulai berlaku tahun depan. Berbagai pandangan diketengahkan oleh berbagai pihak yang berkepentingan terhadap KUHAP mulai dari polisi, hingga advokat mengenai formulasi yang ideal. Namun ada satu yang sangat jelas di pelupuk tapi tidak kelihatan mata yaitu adanya obesitas dalam hukum kita.

Sebaik apa pun KUHAP itu sering terkendala kemudian dalam praktik oleh karena lahirnya berbagai regulasi kebijakan seperti Perkap, Perja dan Perma bahkan SEMA yang keberadaannya menegasikan regulasi di atasnya. Paling sederhana, dalam hal membuat laporan kepolisian, sering korban dari awal mengalami proses rumit ketika membawa masalahnya ke kepolisian berbagai situasi yang membebani itu akhirnya membuat publik tetap kesulitan mendapatkan akses hukum. padahal di dalam KUHAP Baru misalnya diatur hak masyarakat adalah membuat laporan polisi atas terjadinya suatu tindak pidana.

Sisi lain yang paling sering menjadi hambatan adalah mekanisme penggabungan tuntutan ganti kerugian terhadap terdakwa untuk kepentingan korban. Aturan mengenai hal ini sebaiknya perlu dipertegas aturannya sebagai salah satu kewajiban penuntut umum dalam proses penuntutan. Apalagi di beberapa pasal kejahatan terhadap harta dan benda, penuntut umum tidak hanya mendakwa perbuatan pelaku kejahatan tetapi juga memperjuangkan kepentingan korban untuk memperoleh kompensasi atas perbuatan terdakwa. Selama ini dalam praktik, korban masih harus menggunakan jalur tersendiri yakni upaya perdata untuk memperoleh haknya atas penyelesaian atas kerugiannya yang timbul dari perbuatan terdakwa. Praktik ini membuktikan bahwa proses penegakan hukum belum berjalan linear di atas kepentingan ketertiban umum dan kepentingan korban. Padahal masyarakat selaku korban berharap melalui proses hukum haknya atas kerugian terhadap harta benda dapat dipulihkan oleh terdakwa melalui proses hukum. segala pengorbanan korban untuk mengikuti proses hukum menjadi hambar karena tujuan maksimal yang diharapkannya yakni ganti kerugian atas kerugiannya tidak tercapai. Proses pidana hanya menjawab tujuan minimal yakni pelaku mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum. isu ini pun coba dijawab dengan lahirnya berbagai regulasi kebijakan seperti Perkap, Perja dan Perma untuk menyelesaikan penanganan perkara dengan pendekatan restorative justice tetapi penerapannya belum sesuai dengan yang diharapkan, sebab modelnya masih sangat dititikberatkan kepada itikad pelaku, institusi hukum belum berperan optimal untuk memulihkan kerugian korban.

Secara asasnya sebenarnya sudah jelas hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah "lex superior derogat legi inferiori". Tapi itu seolah hanya berlaku di tatanan teori sedangkan dalam praktik justru hukum yang disebut lebih rendah itu malah menentukan proses penegakan hukum. Akhirnya proses hukum terdesain sedemikian rupa menjadi proses yang sejak awal sudah berjalan dengan tidak adil. Lantas bagaimana mengharapkan lahirnya suatu penanganan kasus hukum yang adil dari proses yang saling tumpang tindih menyebabkan situasi ketidakadilan.

Terjadinya berbagai praktik regulasi kebijakan dilandasi oleh satu argumentasi adanya kekosongan hukum yang seolah mendorong institusi ikut melahirkan suatu regulasi kebijakan. Sebenarnya yang paling ideal untuk mengatasi keadaan kekosongan hukum ini adalah dengan mengajukan fatwa hukum ke pengadilan bukan dengan melahirkan regulasi baru. Sebab keadaan kekosongan hukum terjadi karena adanya suatu anomali atau keadaan baru yang terjadi di luar keadaan lazimnya sehingga agak rancu kalau keadaan anomali di satu kasus menjadi dasar lahir regulasi yang berlaku untuk umum.

Diskresi dimaknai sebagai kewenangan untuk menghasilkan peraturan baru. Padahal belum tentu demikian, diskresi dan regulasi kebijakan tidak bisa dijadikan satu rangkaian tindakan pemerintah. Secara nyata diskresi adalah keadaan karena kekosongan hukum namun memaksa maka yang dilakukan adalah tindakan di luar kebiasaan terhadap satu kasus yang terjadi secara dil uar kelaziman. Sedangkan regulasi kebijakan tidak bisa dilakukan berdasarkan kasus di luar kelaziman.

Terjadinya regulasi kebijakan karenanya bisa terjadi karena terlalu legal formil dalam melakukan pendekatan penyelesaian keadaan tidak lazim juga karena ego sektoral institusi penegakan hukum yang rentan dilatarbelakangi adanya kepentingan non hukum dalam penyelesaian kasus kasus hukum. sehingga sudah saatnya demi menjamin lahirnya produk hukum yang tepat dan tidak bertentangan dengan regulasi yang berada di atasnya, ke depan segala regulasi kebijakan yang hendak dilahirkan institusi penegak hukum seperti polisi, jaksa dan pengadilan harus dilahirkan berdasarkan pengesahan dari Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penegak hukum yang bertugas menjaga tertib hukum.

Obesitas hukum adalah suatu keadaan ketidakseimbangan dimana sistem sosial kemasyarakatan dipenuhi oleh berbagai regulasi yang pada akhirnya menciptakan sistem hukum gagal menciptakan kepastian hukum dan keadilan itu sendiri dalam konteks hukum pidana yakni kepada korban dan ketertiban umum. Obesitas hukum bukan hyper regulation, obesitas adalah akibat. Obesitas membutuhkan penataan dan penegasan atau pendisiplinan tertib asas hukum untuk menghasilkan postur sistem hukum acara pidana yang ideal. Sedangkan hyper cenderung mengindikasikan sebagai sebab terjadinya perlambatan.

Keadaan terlalu banyaknya regulasi menyebabkan terjadinya kegemukan aturan dalam sistem hukum pidana yang justru membuat fungsi dan tujuan penegakan hukum tidak berperan optimal dalam memberikan kepastian hukum, perlindungan masyarakat termasuk korban dan pemulihan rasa keadilan yang terganggu dalam menyelesaikan peristiwa melanggar hukum karena perangkat atau sistemnya sudah berpostur terlalu bongsor untuk dapat berperan secara proporsional.

Di tengah deadline penyusunan dan pengesahan RUU KUHAP diharapkan stake holder baik dari eksekutif dan legislatif memberi porsi perhatian terhadap adanya situasi kegemukan yang membuat sistem peradilan pidana menjadi kurang responsive dan rawan terhadap penyalahgunaan kepentingan dan kewenangan oleh karena ego sektoral lintas institusi hukum. penyusunan tidak disibukkan dengan perlu tidaknya suatu intitusi kewenangan diperkuat, namun harus secara holistik melihat sistem penegakan hukum pidana sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan demi terciptanya Hukum Acara Pidana yang akuntabel, berkepastian hukum dan berbasis Hak Asasi Manusia.

Model penyusunan tidak terlalu sibuk dengan memasukkan berbagai aturan baru yang justru tidak akan berfungsi karena sedari awal tim perumus dan pengkaji KUHAP Baru gagal menginventarisir berbagai regulasi kebijakan yang justru menjadi pedoman dalam penerapan hukum secara de facto. Jika keadaannya demikian KUHAP Baru tetap akan tidak dapat menjadi pedoman baru dalam proses penegakan hukum karena terkendala berbagai peraturan kebijakan yang tetap eksis. KUHAP Baru nantinya harus mengamputasi segala peraturan kebijakan instansi penegak hukum yang substansinya bertentangan dengan ketentuan dalam KUHAP Baru. Skenario kedua, oleh karena keterbatasan waktu untuk menginventarisir berbagai peraturan kebijakan yang dilahirkan institusi penegak hukum selama 40 tahun terakhir sejak berlakunya KUHAP Tahun 1981, KUHAP Baru sebaiknya menegaskan di dalam ketentuannya untuk menyatakan segala regulasi kebijakan yang terbit berdasarkan KUHAP Tahun 1981 harus segera dicabut. Mungkinkah KUHAP baru akan memprediksi situasi obesitas ini dan berhasil menyelesaikannya, biarlah waktu yang akan menjawabnya.

Ruben Sandi Yoga Utama Panggabean, Advokat di Medan.

(imk/imk)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial