Kesinambungan Pemilu yang Terpisah

7 hours ago 2

Pemisahan pemilu nasional dan lokal oleh Mahkamah Konstitusi (MK) mempertegas kembali bahwa pelaksanaan regulasi tidak pernah lestari. Seperti kata Heraclitus, tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Undang-undang pemilu nyatanya hanya dapat diberlakukan maksimal dua kali gelaran sejak reformasi.

Dikaruniai negara besar dan kompleks, Indonesia menerapkan sistem pemilu yang rumit. Dari metode mayoritas, pluralitas dan gagasan sistem campuran di masa mendatang. Dari sistem perwakilan menjadi memilih langsung karena pertimbangan akuntabilitas hingga pembagian waktu dan manajemen penyelenggaraan yang bergantian.

Pengalaman pemilu lima kotak dan pilkada serentak tahun 2024 memang menyebabkan KPU dan Bawaslu terengah-engah. Melaksanakan tahapan yang berhimpitan berdampak langsung pada kualitas penyelenggaraan.

Ditambah dengan pengalaman keserentakan pemilu pada 2019, MK memutuskan untuk lebih dalam melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering). Pengalaman empiris dimana beban kerja penyelenggara yang mengakibatkan banyak korban jiwa, partai politik yang tertatih-tatih dalam menyediakan calonnya, persoalan daerah yang tenggelam dengan isu nasional serta kejenuhan pemilih yang menyebabkan partisipasi melemah.

Satu sisi, putusan MK mempersempit gerakan elit untuk mengembalikan pilkada oleh DPRD sekaligus menyelamatkan KPU dan Bawaslu dari wacana perubahan menjadi ad hoc.

Akan tetapi, putusan MK ini juga membuka ruang kosong terkait syarat keikutsertaan partai politik pada pemilu nasional dan daerah, perubahan syarat pencalonan kepala daerah, ketentuan masa jabatan anggota DPRD yang diatur lima tahunan serta kesinambungan perencanaan program pemerintah pusat dan daerah.

Dan yang paling penting, apakah pemisahan pemilu nasional dan daerah meningkatkan kualitas demokrasi atau sebaliknya. Atau sekedar mengganti sistem seperti yang sebelum-sebelumnya.

Menyelesaikan Persoalan

Perubahan undang-undang pemilu tidak haram. Tetapi melakukan perbaikan menyeluruh dari setiap persoalan juga wajib dilakukan. Ibarat bepergian, mengganti kendaraan yang rusak hanya sarana untuk mencapai tujuan.

Diantara persoalan utama pemilu adalah tingkat pendidikan politik yang rendah serta penegakan keadilan yang lemah. Dimana keduanya tidak cukup diselesaikan hanya dengan mengubah satu sistem ke sistem pemilu lainnya.

Sepanjang politik hanya dimaknai sebagai perebutan kekuasaan, menjadikan pemilih hanya sebagai obyek elektoral jelang pemilu dan pilkada, serta sosialisasi yang terbatas dan minim inovasi maka kualitas pemilih tidak akan bisa tahan dari segala kondisi.

Dan sepanjang penegakan hukum hanya menjadi slogan dan materi diskusi, maka politik transaksional baik menggunakan dana publik maupun biaya pribadi semakin tak terkendali. Dari persidangan MK sendiri membuktikan bahwa para pelaku politik menggunakan larangan untuk meraih kemenangan. Praktik korupsi kepala daerah berkelindan dengan kebutuhan politik berbiaya tinggi.

Dua problem utama tersebut tetap dimiliki oleh apapun sistem pemilu yang berlaku. Pilihan sistem tertentu yang diniati memberikan efek pada sistem kepartaian, penyediaan keterwakilan yang representatif serta tata kelola pemerintahan dan stabilitas politik yang kuat, akan berhasil jika persoalan subtansial pemilu juga diselesaikan bersamaan.

Apapun sistem pemilunya, kesinambungan antara pra pemilu, saat pemilu dan pasca pemilu mutlak dilakukan untuk memperkuat kualitas demokrasi. Kesinambungan antara pelembagaan peserta pemilu, program yang ditawarkan, kecerdasan pemilih untuk menentukan wakilnya dan menerjemahkan janji politik pada kebijakan publik adalah rangkaian yang tak terpisahkan untuk mewujudkan demokrasi yang berkualitas.

Pengambilan Keputusan

Pemilu sejatinya adalah momentum pertama dalam pengambilan keputusan. Pemilih mewakilkan kepentingan untuk disepakati dalam keputusan kolektif. Keputusan ini berkaitan dengan dengan kebijakan yang akan dicapai dengan pelibatan yang terus menerus. Maka, pemilu adalah gerbang politik tentang bagaimana membuat keputusan berdasarkan kepentingan mayoritas.

Sistem pemilu, dengan demikian, membuat penyelenggara dan aktor politik wajib untuk mewujudkan pemilih yang terdidik, mencalonkan kandidat berdasarkan kapasitas, menyusun penegakan hukum yang efektif dan menimbulkan efek jera, serta memastikan akuntabilitas pemerintahan yang demokratis.

Apapun sistem pemilu yang diterapkan, pemilih tetap diajak serta dari awal sampai khatam. Tidak ditinggal ditengah jalan. Perbaikan demokrasi selain dari sisi prosedural juga dinaikkan pada aspek substansial. Yaitu pengambilan keputusan bersama rakyat untuk menentukan pelayanan publik, pendidikan, kesehatan dan pekerjaan yang layak, bahkan setelah pemilu usai.

Awal mula kualitas demokrasi justru setelah pemilu usai. Bagaimana tawaran pemenang pemilu diterjemahkan dengan kehendak rakyat pemilih. Tidak ditinggal begitu saja.

Oleh karena itu, perbaikan undang-undang pemilu semestinya diselaraskan dengan peningkatan kualitas partai politik, kelembagaan perwakilan rakyat, tata kelola pemerintahan daerah sekaligus perimbangan kekuasaan pusat dan daerah. Melakukan perbaikan regulasi pemilu berdasarkan pada persoalan yang dihadapi sekaligus perbaikan pada tata kelola pemerintahan.

Jika jalur ini ditempuh, sejatinya pembahasan perubahan undang-undang pemilu tidak boleh ditunda. Wajib dimulai tahun ini atau maksimal awal tahun depan. Pembahasan sedini mungkin untuk merangkum masukan publik sekaligus melakukan perbaikan jangka panjang.

Tidak perlu khawatir stabilitas koalisi akan terganggu. Bahkan bisa jadi usaha mewujudkan konsolidasi demokrasi yang bermutu. Tinggalkan pengalaman menyelesaikan regulasi di last minutes. Karena itu hanya akan menghasilkan undang-undang yang berantakan.

Masykurudin Hafidz, Direktur Akademi Pemilu dan Demokrasi (APD)

Tonton juga "MK Putuskan Pemilu Dipisah, PKB Usul Kepala Daerah Dipilih DPRD" di sini:

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial